Label

Rabu, 27 April 2011

DAMPAK KENAIKAN HARGA GARAM

DAMPAK KENAIKAN HARGA GARAM
Harga dasar naik, produksi garam diperkirakan naik
JAKARTA. Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI) menyambut baik kenaikan harga dasar garam. Anggota Presidium A2PGRI Faisal Baidowi menilai, kenaikan harga tersebut bisa memacu produksi dan kualitas garam.

Asal tahu saja, Kementerian Perdagangan atas rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menaikkan harga dasar garam baik kualitas I (KI) maupun II (KII). Harga dasar garam KI naik 130,76% dari Rp 325.000 per ton menjadi Rp 750.000 per ton atau dari Rp 325 per kilogram (kg) menjadi Rp 750 per kg. Harga dasar garam KII naik dari Rp 250.000 per ton menjadi Rp 550.000 per ton atau dari Rp 250 per kg menjadi Rp 550 per kg.

Faisal memprediksikan, produksi garam tahun ini bisa mencapai mencapai 1,4 juta ton atau lebih tinggi dari produksi normal yang biasanya 1,2 juta ton. Selain karena kenaikan harga, dia menilai faktor cuaca juga meningkatkan produksi garam tahun ini.

Cuaca pada periode panen raya garam yaitu bulan Juni-Oktober diprediksi akan panas. Petani diprediksi bakal mendapat sinar matahari yang dibutuhkan dalam proses pembuatan garam. "Kami tidak akan kesulitan lagi seperti tahun lalu," jelas Faisal.

Toto Sudiharto, Bendahara Koperasi Santing Mandiri, koperasi petani garam di Indramayu, mengamini pernyataan tersebut. Menurutnya, harga dasar yang naik membuat petani di Indramayu berusaha memacu produktivitas lahannya. Selama ini, satu hektare (ha) lahan biasanya memproduksi 120 ton garam per musim. "Karena harganya naik, kami berusaha produktivitasnya bisa naik menjadi 200 ton per hektare," ujarnya kepada KONTAN.

Toto bilang, gairah petani garam memang sedang tinggi-tingginya. Pasalnya, keuntungan petani bakal berlipat ganda dengan naiknya harga dasar itu. Contohnya, biaya produksi garam KII itu untuk petani tradisional hanya Rp 150 per kg, dan petani intensif sebesar Rp 275 per kg.

Di sisi lain harga jual dasar yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 550 per kg. Itu artinya petani mendapat untung dua kali lipat lebih banyak ketimbang biaya produksi yang dikeluarkan. "Siapa yang tidak mau mendapat untung sebesar ini!" seru Toto.

Petani di Indramayu juga banyak yang berusaha memproduktifkan lahan garam yang selama ini tidak produktif. Lahan garam di Indramayu sekitar 2.000 ha. Dari jumlah itu, sekitar 800 ha berstatus lahan mati karena tahun lalu petani enggan menanam garam akibat faktor cuaca dan harga yang rendah. Lahan-lahan mati itulah yang sekarang terus diproduktifkan kembali oleh petani-petani di sana.

Informasi saja, tahun lalu memang menjadi tahun terburuk dalam sejarah produksi garam dalam negeri. Produksi garam tahun lalu hanya sebanyak 25.312 ton atau hanya 2% dari produksi normal yang sebanyak 1,2 juta ton.

Di Indramayu sendiri sebagai salah satu lumbung garam nasional, produksi garam tahun lalu hanya 40 ton saja. Padahal biasanya produksi di sana bisa mencapai 550.000 ton. Tahun ini, produksi garam di Indramayu diprediksi bisa kembali normal.

1 komentar:

  1. urusan garam tidak semurah harganya, untuk membenahi, harus dimulai data yg benar, data yg dimiliki Kementrian kelautan Perikanan, Perindustrian, perdagangan, gak ada yg sinkron.... gimana mau ambil kebijakan yg bagus, ke 3 stake holder itu juga gak ada titik temu, jangan salahkan mavia, pemerintah yg harus membenahi, kalau prosesnya bener, mestinya gak carut marut begini

    BalasHapus