Label

Kamis, 14 Juni 2012

Petrochemical Energy targetkan penjualan naik 34%

Petrochemical Energy targetkan penjualan naik 34%


Petrochemical Energy targetkan penjualan naik 34%
JAKARTA. PT Petrochemical Energy Trading menargetkan volume penjualan petrokimia tahun ini naik 33,85% menjadi 1,7 juta metrik ton. Tahun lalu, target volume penjualan Petrochemical mencapai 1,4 juta metrik ton.

Denni Kusumawardhani, Vice President Petrochemical Trading bilang, kenaikan itu terutama ditopang penjualan petrokimia jenis benzene, paraxylene, propylene dan green coke. "Dengan kenaikan penjualan dan harga diharapkan margin usaha tahun ini lebih besar dari tahun lalu," ujar Denni, Minggu (11/3).

Dengan estimasi penjualan volume tersebut, anak usaha Pertamina itu mengharapkan meraih laba Rp 650 miliar. Menurut Denni, dibandingkan dengan target laba tahun lalu, target laba tahun ini naik hampir 50%. Tahun lalu, target laba usaha sebesar Rp 317,4 miliar, "Walaupun realisasinya mencapai Rp 659 miliar karena adanya harga yang baik," cetusnya.

Dia mengungkapkan, di 2011, unit bisnis Petrochemical Trading menargetkan volume penjualan 1,44 juta metrik ton petrokimia, namun realisasinya hanya sebesar 1,27 juta metrik ton. "Hal itu karena produksi sempat mengalami penurunan dari tahun sebelumnya," paparnya.

Pada tahun ini Pertamina mengharapkan perbaikan penjualan untuk produk aspal. Menurutnya, kenaikan akan didorong rencana pembangunan Sumatera Highway dan Jawa Highway. “Pertamina dan Kementerian Pekerjaan Umum telah menandatangani nota kesepahaman penyediaan aspal,” ujarnya.

Dia mengharapkan permintaan pasokan aspal mulai datang Mei nanti. Kebutuhan aspal di Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 juta metrik ton per tahun. Pertamina akan memasok sebesar 400.000 metrik ton.

Sayangnya, kapasitas produksi aspal yang berasal dari Kilang Cilacap masih di bawah kapasitas optimal karena pertimbangan keekonomian kilang. Biaya produksi aspal juga masih tinggi sehingga penjualan produk ini masih merugi. “Kami melihat aspal sebagai produk strategis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan nasional. Jadi kami tidak bisa ambil margin besar,” jelasnya.

Duta Firza dan LG garap Petrokimia

Duta Firza dan LG garap Petrokimia

JAKARTA. PT Duta Firza menggandeng LG International untuk membangun pabrik petrokimia di wilayah Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat. Nilai investasi pabrik petrokimia tersebut sebesar Rp 27 triliun. Baik Duta maupun LG berharap, pabrik petrokimia ini beroperasi mulai pada 2018.
Chief Executive Officer (CEO) Duta Firza, Firlie Ganinduto, mengatakan, pihaknya dengan LG telah menandatangani perjanjian kerja sama atau head of agreement (HoA), Rabu (28/3). Perjanjian itu diteken Firlie selaku CEO Duta Firza dan Presiden LG, Young Bong Ha, disaksikan Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan.
Duta Firza maupun LG sama-sama memastikan pasokan gas untuk pabrik petrokimia tersebut dari gas Lapangan Tangguh. "Kerja sama tersebut meliputi kegiatan pra perencanaan, pra studi kelayakan, hingga tahap pembangunan pabrik petrokimia," jelas Firza, kemarin.
Berdasarkan perjanjian ini, Duta Firza dan LG akan membentuk perusahaan patungan alias joint venture company untuk merealisasikan proyek. Perusahaan patungan tersebut, selain menanamkan investasi, juga akan melakukan pembangunan hingga menjadi operator pabrik petrokimia. Instalasi dan persiapan pelaksanaan proyek (comissioning) pabrik juga akan dilakukan perusahaan tersebut.
Tahap pra perencanaan dan pra studi kelayakan akan dilakukan oleh pihak ketiga dan ditargetkan selesai pada kuartal ketiga tahun ini. Kemudian, pengemdangan dari tahap pertama tersebut akan dijalankan pada kuartal pertama 2013. Target perusahaan tersebut, peletakan batu pertama pembangunan pabrik petrokimia akan mulai dilakukan pertengahan 2014.
"Tes produksi pertama ditargetkan bisa dilakukan pada kuartal keempat 2017 atau awal 2018," ujar Firlie. Tepatnya, setelah Kilang Tangguh Train 3 dan 4 selesai dibangun pada pertengahan 2017.
Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gde Pradnyana menuturkan, produksi gas dari Train 3 Kilang Tangguh sebagian memang akan dialokasikan untuk pabrik petrokimia. "Namun saya belum tahu apakah itu untuk Duta Firza dan LG atau bukan," kata dia.
BP Migas saat ini masih membahas rencana pengembangan atau plan of development (POD) untuk Train 3. "Sementara Train 4 masih belum ada cadangan gasnya, harus dieksplorasi dulu," jelas Firlie.
Kapasitas produksi Train 3 Kilang Tangguh rencananya bisa mencapai 3,8 juta ton per tahun dengan nilai investasi US$ 3,8 miliar. Besaran investasi tersebut lebih besar dari dua train sebelumnya. Untuk Train 2, untuk memproduksikan 1 ton dibutuhkan investasi US$ 250.000. Sementara Train 3, untuk memproeduksi 1 ton gas membutuhkan US$ 1 juta. POD Train 3 diharapkan bisa rampung tahun ini dan akan berproduksi secara komersial pada akhir 2016 atau awal 2017.
Saat ini, proyek Tangguh terdiri atas dua train yang masing-masing berkapasitas produksi 3,8 juta ton per tahun atau total 7,6 juta ton per tahun. Gas itu berasal dari tiga blok, yakni Berau, Wiriagar, dan Muturi dengan cadangan terbukti 14,4 triliun kaki kubik (tcf). Produksi Kilang Tangguh tersebut seluruhnya dialokasikan untuk ekspor dengan rincian Sempra (AS) 3,6 juta ton per tahun, Fujian (Tiongkok) 2,6 juta ton per tahun, dan Korea Selatan sekitar 1 juta ton per tahun.

Bangun Kilang Balongan, Pertamina dan Kuwait Petroleum Tunggu Insentif Pemerintah

Bangun Kilang Balongan, Pertamina dan Kuwait Petroleum Tunggu Insentif Pemerintah


JAKARTA (IFT)– PT Pertamina (Persero) dan Kuwait Petroleum Corporation (Kepco)  masih menunggu kebijakan insentif yang diberikan pemerintah sebelum mengembangkan kilang pengolahan minyak di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, karena akan menentukan kapasitas kilang yang akan dibangun dan nilai investasinya.
M Harun, Vice President Communication Pertamina, mengatakan hingga kini pemerintah belum memberi respons soal bentuk insentif yang akan diberikan kepada pembangun kilang. Kebijakan insentif akan dibahas bersama antardepartemen yang melibatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.