Label

Senin, 27 September 2010

Tri polyta dan Chandra Asri segera Merger

JAKARTA - Dua produsen bahan baku plastik, PT Tri Polyta Indonesia Tbk (TPIA) dan PT Chandra Asri sepakat untuk merger dengan skema pertukaran saham (share swap). Penggabungan usaha ini diperkirakan bernilai Rp8,366 triliun.

“Rencananya, Senin (27/9) kami akan serahkan pendaftaran dan rancangan merger itu kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam- LK),” kata Direktur PT Tri Polyta Suryandi di Jakarta, kemarin.

Suryandi melanjutkan, perseroan juga akan menyampaikan rencana tersebut kepada para kreditor serta menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 27 Oktober 2010.

Dia berharap, rencana penggabungan usaha ini dapat membentuk perusahaan petrokimia terintegrasi dan terbesar tidak hanya di Indonesia,namun di Asia Tenggara dengan aset USD1,6 miliar (Rp14,4 triliun). Dia juga berharap, merger ini efektif pada 1 Januari 2011 dengan nama PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.

“Peleburan usaha membuat keduanya menjadi efisien dan saling menguntungkan,” katanya.

Suryandi menjelaskan, dalam skema pertukaran saham tersebut, Chandra Asri menjadi pihak yang akan melebur ke dalam Tri Polyta. Berdasarkan tim penilai independen, satu saham Chandra Asri akan ditukar dengan 42.000 saham Tri Polyta.

“Jadi, nantinya pemegang saham Chandra Asri akan menjadi pemegang saham TPIA,”imbuhnya.

Menurut dia, merger antara perseroan dengan Chandra Asri merupakan merger vertikal antaranak perusahaan PT Barito Pacific Tbk. (BRPT). Sehingga, tidak ada benturan kepentingan, mengingat merger yang dilakukan terbatas pada share swap kedua perusahaan.

Saat ini Barito Pacific menguasai 567.403.650 saham (77,93 persen) Tri Polyta.Sisanya dimiliki Prajogo Pangestu sebanyak 31.194.950 saham (4,38 persen), Ibrahim Risjad 13.681.750 saham (1,88 persen), Henry Halim 1.824.500 saham (0,25 persen), dan publik 113.357.250 saham (15,56 persen).

Barito juga menguasai 70 persen saham Chandra Asri dan sisanya dipegang Glazers & Putnam Investment Ltd. “Pascamerger PT Chandra Asri Petrochemical Tbk nantinya akan dimiliki oleh BRPT sekitar 71,8 persen, Glazers & Putnam 22,87 persen,Prayogo Pangestu 1,04 persen, dan sisanya publik,”tutur Suryandi.

Dengan merger, lanjut Suryandi, perusahaan baru akan memiliki kemampuan pendanaan yang lebih besar dan menciptakan peluang bisnis lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kinerja.

“Tentu merger ini memberikan sinergi yang menguntungkan. Sebab, selama ini kebutuhan bahan baku kami dipenuhi oleh Chandra Asri,”ungkap Suryandi.

Corporate Secretary Chandra Asri Suhat Miyarso mengatakan, keputusan merger dilakukan setelah melalui proses uji kelayakan (due diligence) ketat yang berlangsung sejak Juli 2010.Proses tersebut dilakukan dengan memperhatikan masukan guna menciptakan keuntungan bagi semua pemegang saham dan pemangku kepentingan perseroan.

“Proses merger juga telah memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan karyawan, kreditor, pemegang saham dan stakeholder lainnya dari kedua perusahaan,” ujarnya.

Tri Polyta dikenal sebagai perusahaan petrokimia yang memproduksi produk-produk seperti biji plastik polypropylene dengan kapasitas produksi sebesar 360 kiloton per tahun dan menguasai pangsa pasar (market share) sebesar 46 persen. Total aset Tri Polyta Indonesia sebesar USD280 juta. Sementara, bahan baku untuk memproduksi polypropylene adalah propylene yang diproduksi Chandra Asri.

Sebagai produsen sektor hulu, Chandra Asri adalah satu-satunya perusahaan petrokimia yang memproduksi naphta cracker di Indonesia dengan kapasitas produksi 600 kiloton per tahun.(Whisnu Bagus /Koran SI/wdi)

Kamis, 23 September 2010

Pemerintah Kembangkan Tiga Klaster Petrokimia

Pemerintah Kembangkan Tiga Klaster Petrokimia

JAKARTA-Pemerintah menetapkan tiga lokasi sebagai pengembangan klaster industri petrokimia di Tanah Air. Tiga klaster itu masing-masing petrokimia olefin di Banten, petrokimia aromatic di Jawa Timur, dan petrokimia berbasis gas di Kalimantan Timur."Pengembangan industri petrokimia ke depan dilakukan dengan pendekatan klaster industri sehingga tercipta peningkatan daya saing," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat, di Cilegon, Banten, saat pemancangan tiang pertama peningkatan kapasitas produksi PT Tri Polyta Indonesia Tbk., Sabtu (16/1).
        Selain itu menurut Hidayat pengembangan klaster juga dimaksudkan untuk memperkuat struktur industri yang terintegrasi dari hulu hingga hilir dalam sistem rantai nilai yang terkait. Karena tujuan itu, pemerintah menurutnya mendorong berbagai kalangan bisnis nasional untuk memanfaatkan sumber daya dalam negeri sebagai bahan baku industri."Guna mendukung maksud tersebut pemerintah telah menyusun berbagai kebijakan di antaranya Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN)," kata Hidayat.
       Berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundangan tersebut, lanjutnya, diharapkan mampu mendorong kinerja industri nasional melalui kemudahan penyediaan bahan baku berbasis sumber daya domestik.Kapasitas produksi bahan kimia dalam negeri pada 2007 mencapai 37,67 juta ton dan pada meningkat menjadi 38,24 juta ton pada 2008. Pada periode itu, ekspor bahan kimia juga meningkat dari 5,2 juta ton menjadi 5,63 juta ton. Ada pun kebutuhan bahan kimia yang diimpor pada 2007 mencapai 3,7 juta ton dan meningkat menjadi 3,8 juta ton pada 2008.Pada kesempatan itu Hidayat juga menyatakan, industri kimia, termasuk petrokimia nasional berpotensi berkembang dengan baik karena masih terdapat "gap" antara pasokan dan permintaan produk kimia nasional. Anl/AR-1

Rabu, 22 September 2010

Asing Tanam Duit di Petrokimia Iran

KOMPAS.com - Meski dikepung oleh seteru-seterunya, Iran tetap moncer untuk investasi bidang perminyakan, khususnya petrokimia. Warta Mehr pada Selasa (24/8/2010) menunjukkan sudah ada sepuluh investasi luar negeri yang membenamkan duitnya untuk proyek petrokimia. "Nilainya mencapai 5,1 triliun dollar AS," kata Direktur Perusahaan Negara Petrokimia Iran Abdolhossein Bayat.
Menurut Bayat, pihaknya bakal menggelar tiga proyek besar senilai 2,2 triliun dollar AS. "Sekarang dalam proses negosiasi," imbuhnya.
Tahun lalu, kata Bayat, Iran berhasil memproduksi 4,34 juta ton produk petrokimia. Dari jumlah itu 95 persennya dimanfaatkan untuk pembangunan nasional Iran.

Industri Petrokimia Perlu Insentif Pajak

Industri Petrokimia Perlu Insentif Pajak

Jakarta (ANTARA) - Industri petrokimia memerlukan insentif fiskal berupa pemotongan pajak serta insentif untuk mendorong investasi dalam pembangunan kilang minyak di dalam negeri.
"Insentif tersebut diperlukan untuk memasok kebutuhan nafta (bahan baku industri petrokimia) yang selama ini masih diimpor dari luar negeri," kata Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman saat dihubungi, Minggu.
Budi menjelaskan, insentif yang diberikan dapat berupa fasilitas bebas pajak (tax holiday) dan pengadaan lahan mengingat untuk membangun kilang dibutuhkan lahan minimal 300 hektare.
Dia mengatakan, sebenarnya selama ini pemerintah telah memberikan insentif dalam bentuk perlindungan berupa bea masuk terhadap produk serupa yang berasal dari negara di luar negara ASEAN.
Budi mengatakan, perlindungan tetap dibutuhkan mengingat Indonesia masih tergantung pada bahan baku nafta yang merupakan produk turunan dari minyak bumi.
"Kalau mau kompetitif, industri Petrokimia harus memiliki kilang minyak sendiri. Sepanjang belum memiliki kilang, perlindungan tetap dibutuhkan dari pemerintah," ujarnya.
Budi mengatakan, sebenarnya kalau Nafta tidak tergantung pada impor, harga produk industri Petrokimia domestik bisa lebih kompetitif.
Persoalannya, seluruh minyak dan produk turunannya yang diproduksi Pertamina, sebagian besar disalurkan untuk memasok kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), jelasnya.
Padahal, kebutuhan nafta untuk industri petrokimia sangat besar. Sebagai catatan, impor nafta sepanjang 2010 diproyeksikan mencapai 2,08 juta ton dengan nilai 1,66 miliar dolar AS. Jumlah tersebut melonjak 30 persen dari impor 2009 senilai 1,02 miliar dolar AS.
"Bayangkan betapa besarnya penghematan devisa yang bisa dilakukan jika dapat memproduksi nafta di negeri sendiri," tegasnya.
Indonesia, menurut Budi, setidaknya membutuhkan tambahan tiga kilang baru dengan kapasitas sebesar 300.000 barel per hari yang sudah harus dibangun dalam waktu dekat.
Sekitar 20 persen dari produksi kilang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nafta sebagai bahan baku bagi industri petrokimia. Sisanya, sebesar 80 persen bisa digunakan untuk menyuplai bahan bakar minyak.
"Sesuai dengan cetak biru, pembangunan fisik kilang tersebut seharusnya sudah dilakukan pada 2012, dan sudah beroperasi pada 2015. Jadi kalau kilang bisa dibangun, sumbatan (bottlenecking) pada industri ini bisa diatasi. Apalagi jika kami juga bisa mengantongi jaminan suplai dari Pertamina, itu akan bagus," katanya.
Pembangunan tiga kilang ini untuk memenuhi target produksi polypropylene yang dibutuhkan industri plastik sebanyak 1,5 juta sampai 1,6 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini sebanyak 600.000 sampai 700.000 ton per tahun.
Pembangunan kilang tetap menjadi domain dari PT Pertamina. Sementara, dari pihak swasta ada sejumlah perusahaan petrokimia yang bersedia mendukung jika diminta bergabung dalam konsorsium, termasuk dengan menggandeng investor asing, jelasnya.
Senada hal tersebut, Corporate Secretary PT Chandra Asri Suhat Miyarso mengatakan, perusahaannya mengharapkan insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa fasilitas bebas pajak antara lima sampai tujuh tahun untuk proyek-proyek yang sedang dibangun.
"Dengan demikian PT Chandra Asri dapat membangun proyek lebih leluasa serta investasi kami bisa lebih cepat kembali," ujarnya.
Menurut dia, apabila investasi cepat kembali, PT Chandra Asri dapat melakukan investasi pada proyek lain.

Pembangunan Kilang Terintegrasi

Pemerintah Percepat Pembangunan Kilang Terintegrasi

Ekonomi - / Rabu, 22 September 2010
Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah mempercepat pembangunan tiga kilang pengolahan minyak terintegrasi. Selain memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak, juga produk turunannya seperti nafta dan olefin yang dibutuhkan industri petrokimia domestik.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Legowo mengatakan, Kementerian Keuangan sedang mengkaji tambahan insentif fiskal guna mendukung rencana pembangunan tiga kilang baru di Indonesia tersebut.

"Saat ini, insentif yang ada baru berupa pemotongan PPh (pajak penghasilan), sementara insentif lain masih dibahas di Kementerian Keuangan," ujar Evita di Jakarta, Rabu (22/9).

Menurut Evita, insentif tersebut sangat dibutuhkan, mengingat pembangunan kilang saat ini tidak terlalu menarik bagi investor. Hal itu terjadi karena marjin yakni selisih antara harga minyak mentah dan produk yang dihasilkan tergolong tipis. Sementara kebutuhan biaya pembangunan kilang sangat besar.

Biaya pembangunan satu unit kilang berkapasitas 150.000 barel per hari mencapai lima miliar dolar AS, sementara untuk kilang 600.000 barel per hari diperlukan 20 miliar dolar. Evita menambahkan, pembangunan tiga kilang tersebut akan terintegrasi dengan industri petrokimia agar lebih ekonomis.

"Kami akan meminta Kemkeu segera menerbitkan insentif fiskal baru untuk mempercepat pembangunan kilang," ujarnya.

PT Pertamina (Persero) merencanakan pembangunan tiga kilang baru berkapasitas total antara 500.000-700.000 barel per hari itu di Bojanegara (Banten), Balongan (Jabar), dan Tuban (Jatim). BUMN migas nasional itu menggandeng Kuwait Petroleum Corporation (KPC) di Balongan dan konsorsium Iran dan Malaysia di Bojonegara.

Keberadaan kilang tersebut sangat penting dan mendesak, karena Indonesia saat ini masih mengimpor BBM dan nafta (produk turunan minyak bumi untuk bahan baku industri petrokimia) dalam jumlah besar, sehingga menguras devisa.

Kapasitas kilang minyak di Indonesia saat ini hanya 1,155 juta barel per hari, sementara kebutuhan BBM nasional 1,515 juta barel per hari. Akibatnya, Indonesia masih impor 360.000 barel per hari atau sekitar 25 persen kebutuhan BBM nasional.

Selasa, 21 September 2010

Produk-Produk Petrokimia

PRODUK-PRODUK PETROKIMIA

Industri petrokimia dibagi menjadi dua bagian besar :
        Industri Petrokimia Hulu (upstream petrochemical) à Masih berupa produk dasar (produk primer) dan produk antara (produk setengah jadi)
        Industri Petrokimia Hilir (downstream petrochemical à Berupa produk akhir dan atau produk jadi

Berdasarkan proses pembentukan dan pemanfaatannya, produk petrokimia dibagi menjadi empat jenis :

        Produk Dasar : gas CO dan H2 sintetik, etilena, propilena, butadiene, benzene, toluene, xilena dan n-parafin.

        Produk Antara : ammonia, methanol, carbon black, urea, etanol, etil klorida, cumene, propilen oksida, butyl alkohol, isobutilen, nitrobenzene, nitrotoluena, PTA (Purified Terepthalic Acid), TPA (Terepthalic Acid), DMT (Dimethyl terepthalate), kaprolaktam, LAB (Linear Alkyl Benzene), dll.

        Produk Akhir : urea, carbon black, formaldehida, asetilena, polietilena, polipropilena, poli vinil klorida, polistirena, TNT (Trinitrotoluena), polyester, nilon, poliuretan, LAB sulfonat, dll.

        Produk Jadi : barang-barang yang banyak dipakai sehari-hari di rumah tangga.

Penggunaan dan Pemanfaatan Produk-produk Petrokimia

PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN PRODUK-PRODUK PETROKIMIA

        Penggunaan dan Pemanfaatan Menurut Sektor Industri :
       Industri pupuk dan pestisida
       Industri serat sintetik
       Industri bahan plastik
       Industri adhesive resin
       Industri bahan baku cat/ coating
       Industri detergent/ pencuci
       Industri elastomer/ karet sintetik
       Industri kimia khusus

  1. Penggunaan Dalam Industri Pupuk Dan Pestisida
              Produk amoniak/ urea dalam negeri sebagian besar digunakan sebagai  pupuk pertanian, dan adhesive urea formaldehida.
              Dalam industri pestisida, sebagaian bahan aktif pestisida, pelarut dan aditifnya merupakan produk akhir petrokimia seperti senyawa carbamate, thiocarbamate, surfaktan organik, organoklorida, alkohol, dsb.
2. Penggunaan dalam Industri Serat Sintetik
            Produk petrokimia yang digunakan untuk serat sintetik adalah TPA (terepthalic   acid), DMT (dimethyl terepthalate), PTA (purified terepthalic acid), dan kaprolaktam.

3. Penggunaan dalam Industri Bahan Plastik
PE (polietilena), PP (polipropilena), PVC (poli vinil klorida), dan PS (polistirena).

4. Penggunaan Dalam Industri Adhesive Resin
Urea formaldehida, melamin formaldehida dan fenol formaldehida.

6. Penggunaan dalam Industri Deterjen
Alkil benzena, alkil benzene sulfonat (ABS), dan selulosa karboksi metil (CMC).

7.Penggunaan dalam Industri Elastomer
Karet sintetik yang digunakan untuk industri ban adalah SBR dan karet butil sebesar 20%.
8. Penggunaan dalam industri Kimia, Khusus Industri Zat Pewarna  (Dyestuff Industry)
      Phthalic anhydride (pewarna tekstil) dan carbon black



Progress Industri Petrokimia di Indonesia Agustus 2010

Studi Tentang :
PROGRES INDUSTRI PETROKIMIA DI INDONESIA, 2010
(Ditengah Persaingan Pasar Bebas)
Agustus 2010

Setelah mengalami tekanan krisis ekonomi global yang dimulai pada kuartal IV tahun 2008, memasuki tahun 2009, industri petrokimia di Indonesia mulai menunjukkan pemulihan. Salah satu indikasi berkembangnya industri petrokimia, misalnya tercermin dari meningkatnya konsumsi bahan baku plastik yang dihasilkan industri petrokimia hulu olefin. Oleh karena itu, produsen petrokimia hulu olefin, aromatik maupun yang berbasis gas alam (C1) merencanakan untuk menambah kapasitas produksi dengan tujuan untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan.

Sementara itu, Kementrian Perindustrian telah menetapkan Road Map Pengembangan Klaster Industri Petrokimia masing-masing di provinsi Banten, Kalimantan Timur dan Jawa Timur dengan tujuan industri hulu, tengahan (intermediate) dan hilir petrokimia berada dalam satu kawasan. Sehingga lebih efisien dan dalam pemasarannya mampu bersaing dengan produsen petrokimia dikawasan regional maupun internasional. Untuk itu, satu-satunya olefin center di Indonesia yaitu Chandra Asri (CA) milik Barito Pacific misalnya tengah melakukan studi kelayakan (prefeasibility study) untuk membangun naphta cracker berkapasitas 300.000 barel per hari senilai US$5 – US$7 miliar yang terintegrasi dengan plant olefin center di Cilegon, Banten. Sedangkan pengadaan minyak mentah rencananya akan dipasok Aramco dengan jangka waktu kontrak sedikitnya 15 tahun. 

Selain CA, menurut rencana, Pertamina juga akan membangun plant refinery senilai US$ 3 miliar di Cilegon, Banten yang bekerja sama dengan National Iranian Oil Refining and Distribution Company dan Petrofield Malaysia. Kilang minyak berkapasitas 150.000 barrel per hari (bph) untuk tahap pertama ini dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun 2015.

Sedangkan plant aromatic center di Indonesia yang dioperasikan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur dan mulai beroperasi komersial pada Agustus 2006, akan melakukan ekspansi kapasitas produksi paraxylene (PX) sebesar 600.000 ton per tahun, dengan investasi senilai US$ 500 juta. Sehingga kelak, TPPI memiliki kapasitas produksi PX sebesar 1,15 juta ton per tahun. Proyek ekspansi ini dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2011. Sementara kebutuhan kondensat untuk bahan baku plant paraxylene yang mencapai sekitar 100.000-120.000 barel per hari, rencananya akan dipasok Qatar Gas.

Ditengah pemulihan itu, industri petrokimia di Indonesia masih tetap mengalami hambatan terutama terkait pengadaan bahan baku untuk industri hulu petrokimia. Sebagai gambaran, hingga kini ketergantungan terhadap bahan baku naphtha untuk olefin center dan kondensat untuk aromatik center cukup tinggi. Menurut catatan INAplas, pada tahun 2010, nilai impor naphtha diperkirakan mencapai US$ 1,66 miliar atau naik dari US$ 1,02 miliar pada tahun 2009. Selain itu, dengan dibebaskannya tarif bea masuk impor menjadi 0% sejalan dengan berlakunya AFTA dan ACFTA dan 15% untuk bea masuk impor dari luar kawasan Asean (Most Favoured Nations/MFN) maka  persaingan bisnis petrokimia akan semakin ketat.    
Sementara itu, kebutuhan gas alam dari dalam negeri untuk industri amoniak dan urea terbatas karena sebagian besar gas alam diekspor untuk memenuhi kontrak penjualan jangka panjang. Sehingga kondisi ini akan menghambat program revitalisasi industri pupuk yang tergolong industri petrokimia hulu berbasis gas alam (C1). Seperti diketahui, melalui Inpres No.2/2010, pemerintah telah menetapkan program revitalisasi industri pupuk yang bertujuan untuk membangun pabrik pupuk baru untuk menggantikan pabrik pupuk yang sudah tidak efisien. Pusri misalnya akan membangun tiga plant baru urea yaitu Pusri II B, III B dan IV B senilai US$ 2,4 miliar dengan total kapasitas produksi 2,97 juta ton per tahun. Selain itu untuk substitusi bahan bakar boiler dari gas ke batubara, hampir semua BUMN pupuk merencanakan untuk membangun boiler batubara. Salah satunya adalah proyek boiler batubara Pupuk Kaltim yang menyerap investasi senilai US$ 62 juta dan Rp 394 miliar. Proyek yang ditandatangani pada 7 Desember 2009 ini tengah digarap Inti Karya Persada Teknik (IKPT).

Berbeda dengan Indonesia, pengembangan industri petrokimia di kawasan Asean lainnya cukup pesat. Singapura misalnya yang tidak memiliki sumber bahan baku migas, justru saat ini menjadi produsen terbesar petrokimia yang diikuti Malaysia dan Thailand. Pada Mei 2010, Singapura mulai mengoperasikan plant refinery yang terintegrasi dengan plant petrokimia hulu sejalan dengan beroperasinya Shell Eastern Petrochemicals Complex (SEPC) yang berlokasi di Pulau Bukom dan Jurong. SEPC yang dibangun dengan investasi senilai US$ 4 miliar ini menghasilkan beberapa produk petrokimia hulu dan tengahan, seperti ethylene (800.000 ton per tahun), propylene (450.000 ton per tahun), benzene (230.000 ton per tahun), mono ethylene glycol/MEG (750.000 ton per tahun) dan butadine (155.000 ton per tahun). Sementara setelah merampungkan proyeknya, sejak Maret 2009, kapasitas produksi plant BTX yang dioperasikan PTT Aromatics and Refining Public Company Limited, Thailand masing-masing benzene (662.000 ton/tahun), cyclohexane (200.000 ton/tahun), PX (1.195.000 ton/tahun), OX (66.000 ton/tahun), MX (76.000 ton/tahun) dan toluene (60.000 ton/tahun).

Seperti diketahui, industri hulu petrokimia tergolong industri padat modal dan teknologi, sehingga selama ini pendanaan untuk proyek-proyek besar di industri ini, umumnya berasal dari sindikasi perbankan dalam negeri maupun asing. Selain itu, adanya jaminan pasok bahan baku (security of supply) untuk pembangunan proyek baru merupakan persyaratan utama perbankan untuk memberikan pinjaman.

Secara keseluruhan, relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar dunia merupakan peluang bagi produsen petrokimia maupun investor untuk meningkatkan kapasitas produksi dan mengembangkan industri petrokimia hulu, tengahan (intermediate) dan hilir di Indonesia. Sehingga ditengah persaingan AFTA, ACFTA dan AIFTA, produsen petrokimia mampu bersaing untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan meraih devisa dari pasar ekspor. 

Laporan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan industri petrokimia dan proyek-proyeknya. Pembahasannya meliputi neraca perdagangan impor dan ekspor produk-produk petrokimia hulu, tengahan dan hilir, antara lain meliputi industri hulu aromatik dan derivatnya, industri hulu olefin dan derivatnya, serta industri hulu petrokimia yang berbasis gas alam dan derivatnya.
Selain itu, dibahas juga mengenai kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri petrokimia. Cakupan pembahasannya meliputi, struktur industri petrokimia di Indonesia, perkembangan produksi, ketersediaan bahan baku untuk industri petrokimia hulu, kecenderungan pasar produk petrokimia dan hambatan serta peluang pengembangan industri petrokimia.

Kami berharap, studi Perkembangan Industri Petrokimia di Indonesia, Agustus 2010  (Ditengah Persaingan Pasar Bebas) ini akan bermanfaat bagi kalangan bisnis terutama para pengambil keputusan di industri petrokimia. Studi ini juga bermanfaat bagi kalangan bisnis yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan industri petrokimia seperti sektor perbankan, jasa asuransi, perkapalan dan perdagangan. Selain itu, studi ini juga bermanfaat bagi para investor atau calon investor yang akan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang aktif di bisnis produk petrokimia di Indonesia saat ini.

Laporan studi ini ditulis menjadi sekitar 350 halaman dengan harga Rp 6.500.000 per copy untuk Bahasa Indonesia dan US$ 850 per copy untuk versi Bahasa Inggris dengan nilai tukar dapat dinegosiasikan. Untuk pemesanan dan informasi lebih lanjut mengenai studi ini dapat menghubungi PT Mediadata Riset Indonesia melalui telepon : 021-809 6071 dan ‘mobile phone’ : 0812-10315177 (Sumadi) atau melalui faximile 021-809 6071 dengan mengisi formulir terlampir. Pemesanan untuk luar negeri atau luar Jakarta akan ditambah biaya kirim. Demikian penawaran ini dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.


Jakarta, Agustus 2010
PT Media Data Riset

Definisi Petrokimia

Petrokimia adalah bahan kimia apapun yang diperoleh dari bahan bakar fosil. Ini termasuk bahan bakar fosil yang telah dipurifikasi seperti metana, propana, butana, bensin, minyak tanah, bahan bakar diesel, bahan bakar pesawat, dan juga termasuk berbagai bahan kimia untuk pertanian seperti pestisida, herbisida, dan pupuk, serta bahan-bahan seperti plastik, aspal, dan serat buatan.