Label

Rabu, 22 September 2010

Industri Petrokimia Perlu Insentif Pajak

Industri Petrokimia Perlu Insentif Pajak

Jakarta (ANTARA) - Industri petrokimia memerlukan insentif fiskal berupa pemotongan pajak serta insentif untuk mendorong investasi dalam pembangunan kilang minyak di dalam negeri.
"Insentif tersebut diperlukan untuk memasok kebutuhan nafta (bahan baku industri petrokimia) yang selama ini masih diimpor dari luar negeri," kata Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman saat dihubungi, Minggu.
Budi menjelaskan, insentif yang diberikan dapat berupa fasilitas bebas pajak (tax holiday) dan pengadaan lahan mengingat untuk membangun kilang dibutuhkan lahan minimal 300 hektare.
Dia mengatakan, sebenarnya selama ini pemerintah telah memberikan insentif dalam bentuk perlindungan berupa bea masuk terhadap produk serupa yang berasal dari negara di luar negara ASEAN.
Budi mengatakan, perlindungan tetap dibutuhkan mengingat Indonesia masih tergantung pada bahan baku nafta yang merupakan produk turunan dari minyak bumi.
"Kalau mau kompetitif, industri Petrokimia harus memiliki kilang minyak sendiri. Sepanjang belum memiliki kilang, perlindungan tetap dibutuhkan dari pemerintah," ujarnya.
Budi mengatakan, sebenarnya kalau Nafta tidak tergantung pada impor, harga produk industri Petrokimia domestik bisa lebih kompetitif.
Persoalannya, seluruh minyak dan produk turunannya yang diproduksi Pertamina, sebagian besar disalurkan untuk memasok kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), jelasnya.
Padahal, kebutuhan nafta untuk industri petrokimia sangat besar. Sebagai catatan, impor nafta sepanjang 2010 diproyeksikan mencapai 2,08 juta ton dengan nilai 1,66 miliar dolar AS. Jumlah tersebut melonjak 30 persen dari impor 2009 senilai 1,02 miliar dolar AS.
"Bayangkan betapa besarnya penghematan devisa yang bisa dilakukan jika dapat memproduksi nafta di negeri sendiri," tegasnya.
Indonesia, menurut Budi, setidaknya membutuhkan tambahan tiga kilang baru dengan kapasitas sebesar 300.000 barel per hari yang sudah harus dibangun dalam waktu dekat.
Sekitar 20 persen dari produksi kilang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nafta sebagai bahan baku bagi industri petrokimia. Sisanya, sebesar 80 persen bisa digunakan untuk menyuplai bahan bakar minyak.
"Sesuai dengan cetak biru, pembangunan fisik kilang tersebut seharusnya sudah dilakukan pada 2012, dan sudah beroperasi pada 2015. Jadi kalau kilang bisa dibangun, sumbatan (bottlenecking) pada industri ini bisa diatasi. Apalagi jika kami juga bisa mengantongi jaminan suplai dari Pertamina, itu akan bagus," katanya.
Pembangunan tiga kilang ini untuk memenuhi target produksi polypropylene yang dibutuhkan industri plastik sebanyak 1,5 juta sampai 1,6 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini sebanyak 600.000 sampai 700.000 ton per tahun.
Pembangunan kilang tetap menjadi domain dari PT Pertamina. Sementara, dari pihak swasta ada sejumlah perusahaan petrokimia yang bersedia mendukung jika diminta bergabung dalam konsorsium, termasuk dengan menggandeng investor asing, jelasnya.
Senada hal tersebut, Corporate Secretary PT Chandra Asri Suhat Miyarso mengatakan, perusahaannya mengharapkan insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa fasilitas bebas pajak antara lima sampai tujuh tahun untuk proyek-proyek yang sedang dibangun.
"Dengan demikian PT Chandra Asri dapat membangun proyek lebih leluasa serta investasi kami bisa lebih cepat kembali," ujarnya.
Menurut dia, apabila investasi cepat kembali, PT Chandra Asri dapat melakukan investasi pada proyek lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar