Label

Jumat, 03 Juni 2011

ESDM: Pertamina diminta naikkan produksi minyak

ESDM: Pertamina diminta naikkan produksi minyak
JAKARTA. Pemerintah meminta PT Pertamina (Persero) meningkatkan produksi minyak mereka. Pasalnya, perusahaan minyak pelat merah itu memiliki banyak sumur yang belum di produksi secara optimal.

Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Legowo mengatakan, pemerintah telah meminta Pertamina untuk melakukan peningkatan pengurasan minyak (enhanced oil recovery/EOR). Apalagi, kebanyakan sumur Pertamina merupakan sumur on shore.

“Sampai dengan awal tahun ini, kebanyakan Pertamina masih menggunakan teknologi yang konvensional, injeksi air saja, belum melakukan EOR,” kata dia usai menyaksikan penandatanganan kesepakatan antara BPH Migas dan Kepolisian Republik Indonesia, Rabu (25/5).

Karenanya, dia meminta Pertamina untuk segera menggunakan teknologi EOR. Menurut dia, masih banyak potensi peningkatan produksi minyak yang dimiliki oleh perusahaan minyak nasional itu. “Dengan cara biasa, minyak di sumur Pertamina baru terambil sekitar 30% hingga 35%. Artinya, masih cukup banyak yang tertinggal,” jelas dia.

Minyak yang masih berada di sumur ini, dia menambahkan, tidak akan bisa diproduksi bila Pertamina masih menggunakan teknologi konvensional. “Sekarang mereka sudah mulai EOR,” kata dia.
Akuisisi blok minyak

Terkait akuisisi blok yang akan berakhir kontraknya, menurut dia, aturan yang ada memungkinkan Pertamina untuk mengambil alih. Namun, keputusan terakhir pengambilalihan blok ini ada di tangan perusahaan minyak pelat merah itu.
Pasalnya, akuisisi blok juga harus dilihat dari segi nilai ekonominya. “Itu kan masalah keekonomian apakah memungkinkan atau tidak, terserah Pertamina saja. Tidak harus mengambil alih,” jelas dia.

Namun, hal ini sedikit berbeda untuk kasus Blok Mahakam. Sebelum masa berakhir kontrak blok tersebut, yaitu 2017, pemerintah ingin agar Pertamina mulai bekerja sama dengan Total sebagai operator blok. Alasannya, supaya Pertamina bisa belajar terlebih dahulu. Kemudian, pasca 2017, diharapkan bagian Pertamina di blok migas tersebut secara bertahap semakin besar.

Menurut data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Pertamina masuk dalam daftar 29 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang produksinya di bawah target APBN. Per 30 April lalu, produksi perusahaan minyak nasional itu baru mencapai 123.010 barel per hari (bph). Angka ini lebih rendah 8.990 bph dari target sebesar 132 ribu bph.

Selain itu, angka laju pengurasan Pertamina juga masih di bawah rata-rata nasional. Laju pengurasan Pertamina EP baru sebesar 4,46% dan Pertamina Hulu Energi Off Shore North West Java (PHE ONWJ) 6,35 sementara rata-rata nasional berada pada angka 8,8%. Padahal, luas wilayah kerja Pertamina paling besar dibanding KKKS lain.
Pertamina memiliki WK seluas 138.666 kilometer persegi atau sekitar 48% dari total WK produksi. Hasilnya, produksi Pertamina baru sebesar 0,89 bph tiap kilometer.


 

Pertamina EP bangun pengolahan gas senilai US$ 120 juta

Pertamina EP bangun pengolahan gas senilai US$ 120 juta
JAKARTA. PT Pertamina EP akan mengalirkan gas dari Blok Gundih Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) pada tahun 2013 nanti. Untuk mewujudkan hal itu, Pertamina EP akan membangun Central Processing Plant (CPP) area Gundih PPGJ.

General Manager PPGJ Pertamina EP Dody Sasongko mengatakan pembangunan CPP itu akan dilakukan dengan konsorsium PT Inti Karya Persada Teknik dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) sebagai pelaksana kontrak. Nilai kontraknya mencapai US$ 120 juta. "CPP yang akan dibangun tersebut memiliki kapasitas sales gas alam sebesar 50 MMSCFD," ujar Dody, Rabu (1/6).

Proyek pembangunan CPP ini dilakukan dalam jangka waktu 730 hari terhitung per 1 Juni 2011 sejak perjanjian ditandatangani. Dalam pembangunan CPP, PT Pertamina EP secara bertahap akan melibatkan tenaga kerja lokal sampai dengan 60% dari total jumlah pekerja.

Saat ini Pertamina adalah produsen gas terbesar untuk kebutuhan domestik. Pasokan gas Pertamina untuk konsumen terdiri dari 34% dipasok kepada Perusahaan Gas Negara (PGN), 20% untuk memenuhi kebutuhan industri, 18% untuk industri pupuk, 25% untuk pembangkit listrik, dan sisanya untuk kebutuhan kilang Pertamina.

Stok melimpah, produsen pupuk ekspor 140.000 ton

Stok melimpah, produsen pupuk ekspor 140.000 ton
JAKARTA. Rendahnya serapan pupuk dalam negeri mengakibatkan stok pupuk bersubsidi berlimpah. Berdasarkan data dari Pupuk Sriwijaya Holding, status tanggal 31 Maret 2011, stok pupuk mencapai 1,2 juta ton. Padahal ketentuan stok pupuk seharusnya 416.425 ton. Ini berarti stok pupuk bersubsidi nasional mencapai 289% dari ketentuan stok nasional.

"Masih ada sekitar 700.000 ton lagi, ini nanti akan kita salurkan untuk perkebunan dan ekspor," ujar Direktur Pemasaran PT Pupuk Sriwidjaya (Pusri) Holding, Bambang Tjahyono kepada KONTAN, Senin (2/5).

Menurut Bambang, pihaknya sudah mendapatkan izin ekspor dari Kementerian Perdagangan untuk melakukan izin ekspor. BUMN pupuk sudah mendapatkan izin ekspor sebesar 60.000 ton tiap bulannya. Dari jumlah stok pupuk yang ada, BUMN pupuk tersebut berencana untuk melakukan ekspor sebesar 140.000 ton.

Sedangkan realisasi ekspor pupuk sudah mencapai 70.600 ton. Sisanya, kata Bambang akan diekspor pada akhir bulan Mei 2011. "Untuk kebutuhan perkebunan kita proyeksi kan 50.000 ton per bulan," kata Bambang.

Untuk tujuan negara ekspor, Pusri melakukan ekspor kepada beberapa negara Asia seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan India. Permintaan pupuk paling tinggi berasal dari India dan Thailand.

Bambang melanjutkan, Pusri tidak akan mengerem laju produksi pupuk akibat dari melimpahnya stok pupuk nasional. Sebab hal itu akan membuat biaya tambahan untuk produsen pupuk. "Pupuk kita cukup digemari di pasar ekspor. Jadi nanti kalau dalam negeri tidak bisa menyerap, luar negeri ada yang menampung," jelas Bambang.

Meski melakukan ekspor, kata Bambang, Pusri Holding tetap terus mengamankan kebutuhan dalam negeri. Ia menuturkan, sebenarnya untuk stok ideal pupuk adalah Rp 200.000 ton. Namun, Pusri Holding menaikkan ketentuan stok pupuk nasional minimal menjadi 500.000 ton.

Ini berarti ketentuan stok pupuk nasional sudah melebihi dari kebutuhan yang sudah ada. "Tapi kan pupuk itu sensitif, makanya kita akan terus jaga stok supaya tidak ada kekurangan," kata Bambang.

Direktur Utama PT Petrokimia Gresik, Hidayat Nyakman juga mengeluhkan hal yang sama. Saat ini serapan pupuk bersubsidi milik Petrokimia Gresik hanya sebesar 75% dari Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian. Stok pupuk NPK petrokimia tanggal 02 Mei 2011 mencapai 379.500 ton sedangkan untuk stok pupuk Urea mencapai 393.000 ton.

Stok pupuk NPK Petrokimia terdiri dari Phonska 128.500 ton, ZA sebesar 130.000, SP 36 sebesar 40.000 dan pupuk organik sebesar 81.000 ton. Menurut Hidayat, stok tersebut cukup untuk 4 minggu. Sedangkan ketentuan stok nasional pupuk sekitar 2 minggu. "ZA kan stoknya mencapai 130.000 ton padahal amannya 80.000 ton. Sehingga masih ada kesempatan untuk mengekspor sebesar 50.000 ton," tutur Hidayat.

Sayangnya, untuk saat ini Petrokimia masih belum mau ekspor. Sebab, kondisi anomali musim yang tidak menentu mengakibatkan musim tanam bergeser. Petrokimia menunggu hingga musim tanam selesai baru bisa memutuskan untuk ekspor atau tidak. "Nanti setelah Mei baru bisa kita putuskan berapa besar yang akan diekspor," lanjut Hidayat.

Sebelumnya, Petrokimia sudah melakukan ekspor pupuk phonska ke beberapa negara seperti India dan Brazil. Menurut Hidayat, saat ini Petrokimia sedang menjajaki pasar baru untuk ekspor. Sehingga nantinya tidak hanya ekspor ke negara-negara Asia melainkan di luar Asia. Ini, untuk mengantisipasi jika serapan pupuk dalam negeri terus rendah. Sedangkan pabrik pupuk tidak bisa menekan laju produksi karena akan mengakibatkan tambahan biaya.

"Pupuk kita itu layak diminati. Buktinya saat ini ada permintaan selain dari pasar konvensional ada juga dari pasar baru seperti Brazil dan Afrika. Di Nigeria kan sudah ada perkebunan sawit. Tapi ini kita masih menahan dulu," tandas Hidayat.