Label

Senin, 21 Februari 2011

Industri plastik hilir diprediksi hanya tumbuh 5%

OLEH SITI MUNAWAROH
Bisnis Indonesia
JAKARTA: Industri plastik hilir diperkirakan
hanya tumbuh 5% pada 2011,
lebih rendah dari tahun ini sekitar 7%—
8%, akibat banyaknya permasalahan
yang menekan daya saing sehingga
menghambat pertumbuhan sektor ini.
Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik
Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan
mengatakan masih ada beberapa hal
yang menghambat pertumbuhan industri
plastik hilir di dalam negeri pada 2011.
“Pertumbuhan pada 2010 bisa dikatakan
tidak terlalu jelek. Untuk 2011,
kalau bisa tumbuh 5% saja sudah bagus,”
katanya kemarin.
Dia menuturkan saat masa kejayaannya,
industri plastik hilir mampu tumbuh
dua digit, yakni 15%, tetapi pertumbuhan
sektor ini terus menurun menjadi 12%-
10% dan tahun ini sekitar 7%—8%.
Menurut Tjokro, beberapa hal yang
menghambat dan menjadi faktor negatif
terhadap pertumbuhan industri plastik
hilir pada 2011, di antaranya masalah
pasokan bahan baku, proses bea masuk
ditanggung pemerintah (BMDTP) yang
berbelit, dan tren kenaikan harga minyak
mentah dunia.
Adapun suku bunga kredit yang diproyeksi
stabil menjadi faktor positif bagi
pertumbuhan industri plastik hilir.
Untuk pasokan bahan baku, Tjokro
menegaskan suplai dari dalam negeri
masih tersendat-sendat sehingga masih
terjadi kesenjangan suplai dan permintaan.
Kondisi ini diperparah dengan terhentinya
produksi pabrik PT Polytama
Propindo karena masalah utang piutang
dengan PT Pertamina (Persero).
“Meski ada ekspansi dari PT Chandra
Asri dan PT Tripolyta, tetapi belum signifikan.
Pasokan bahan baku lokal yang
belum mencukupi ini menyebabkan industri
di dalam negeri masih mengimpor,”
jelasnya.
Impor bahan baku plastik, yakni polietilena
(PE) dan polipropilena (PP),
hingga akhir tahun ini diprediksi melonjak
50% menjadi lebih dari 780.000
ton. Impor PE dan PP pada tahun depan
diproyeksi masih cukup tinggi seiring
dengan permintaan yang terus meningkat.

Sasol, Siemens & British Gas incar proyek olefin

Klaster industri petrokimia disiapkan
OLEH RUDI ARIFFIANTO
Bisnis Indonesia
JAKARTA: Tiga perusahaan
multinasional, yakni Sasol
(Afrika Selatan), Siemens AG
(Jerman), dan British Gas
Lurgi (India) berebut proyek
konversi batu bara menjadi
olefin di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan, yang diperkirakan
menelan investasi
US$300 juta.
Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian
Perindustrian Panggah Susanto
mengatakan pemerintah melihat kemungkinan
untuk melakukan diversifikasi
bahan baku di sektor petrokimia, dari minyak
ke bahan baku lainnya, seperti batu
bara dan gas.
“Diversifikasi bahan baku ini merupakan
bentuk perhatian pemerintah terhadap
upaya untuk mencapai kemandirian produksi
petrokimia nasional dari hulu hingga
hilir,” katanya kepada Bisnis kemarin.
Dia mengungkapkan pemerintah sedang
memfasilitasi rencana investasi beberapa
perusahaan di Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. Perusahaan itu di antaranya
Suid Afrikaanse Steenkool en Olie
(Sasol), Siemens, dan British Gas Lurgi.
Nilai proyek konversi batu bara ke olefin
yang disiapkan pemerintah dalam proyek
klaster industri petrokimia di Kaltim itu diperkirakan
menelan investasi US$300 juta.
“Mereka tertarik untuk investasi pabrik
coal to olefin. Sasol, misalnya, selain akan
membuat BBM juga akan membuat olefin
dari batu bara. Yang mereka butuhkan batu
bara muda dan sekarang mereka mencari
mitra produsen batu bara di dalam negeri,”
ujarnya.
Wacana pengalihan bahan baku dari minyak
mentah ke gas dan batu bara muncul
seiring dengan peningkatan harga minyak
mentah di pasaran dunia. Saat ini, harga
minyak mentah bertengger di posisi US$90
per barel, bahkan untuk pengiriman periode
Februari 2011 mencapai US$94 per
barel.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin
Aromatik dan Plastik Indonesia
(INAPlas) Fajar AD Budiyono sebelumnya
mengungkapkan pemerintah telah menyusun
rencana pengembangan klaster industri
petrokimia di Kaltim dengan konsep
pengalihan bahan baku dari berbasis minyak
mentah menjadi batu bara atau gas.
Dia mengatakan batu bara dan gas lebih
efisien untuk memproduksi olefin (etilena
dan polietilena) dibandingkan dengan minyak
yang harganya cenderung meningkat.
Saat ini, tutur Fajar, sudah ada perusahaan
dalam negeri dan asing yang menjajaki
kerja sama konversi batu bara ke olefin
yang diperkirakan berlokasi di Kutai Kartanegara,
Kaltim.
“Tadinya mau buat klaster kilang, tetapi
ternyata lebih efisien apabila menggunakan
gas atau batu bara ke metanol dengan
produk akhir olefin. Sekarang pembahasan
bisnis dilakukan dan diharapkan tahun
depan kerja sama bisa direalisasikan,”
ungkapnya tanpa menyebutkan detail
perusahaan yang akan terlibat. (Bisnis, 28
Des.)
Penerapan SNI
Panggah menambahkan pemerintah juga
sedang mempersiapkan penetapan 20
SNI untuk produk petrokimia hilir, seperti
cast polypropylene film (CPP film), karung,
terpal, dan flexible packaging lainnya.
Menurut dia, penetapan SNI itu sebagai
salah satu senjata pemerintah untuk melindungi
industri dalam negeri dari serbuan
produk impor.
“Pembahasan SNI di panitia teknis sudah
dan setelah itu akan diusulkan ke Pusat
Standardisasi, lalu ke BSN [Badan Sertifikasi
Nasional]. Tetapi kemungkinan tidak
semua produk itu akan dikenakan SNI
wajib, sebagian mungkin sukarela,” ujarnya
tanpa memerinci produk-produk yang
dimaksud. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

perkembangan industri gas alam di Indonesia (feb 2010)


PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS ALAM DI INDONESIA

Februari 2010


Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan gas alam  atau gas bumi semakin meningkat seiring semakin luasnya penggunaan gas alam sumber energi ini baik untuk industri maupun untuk rumah tangga dan sebagai bahan baku industri terutama untuk industri pupuk.

Konsumsi gas alam sebagai energi final adalah ketiga terbesar setelah BBM dan  batubara, lebih tinggi dari listrik dan LPG. Prosentasi (share) konsumsi gas alam mencapai 13,7 persen pada tahun 2008.

Beberapa masalah terkait industri gas alam selain produksi adalah pasokan untuk kebutuhan dalam negeri yang terbatas. Akibat terbatasnya pasokan gas maka kelangsungan pengembangan industri pupuk sempat terganggu karena belum adanya jaminan pasokan gas. 

Pembentukan harga yang tidak sepenuhnya memakai prinsip pasar di dalam negeri membuat sebagian produksi dijual ke pasar luar negeri. Kondisi ini membuat kepastian pasokan untuk industri kebutuhan dalam negeri belum stabil.

Pemerintah mencoba mengatasi hal ini dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan memprioritaskan alokasi gas dari lapangan baru yakni Lapangan Donggi – Senoro untuk kebutuhan domestik.

Dengan semakin besarnya desakan di dalam negeri untuk bisa memanfaakan semaksimal mungkin gas alam untuk kebutuhan dalam negeri maka berbagai kebijakan baru telah dikeluarkan mengenai pemanfaatan gas  alam. Beberapa regulasi baru pada sektor ini yang diperkirakan akan mempengaruhi bisnis gas alam di Indonesia khususnya menyangkut transmisi gas alam diantaranya pemindahan titik serah gas alam ke Singapura dari plant gate di Singapura ke well head di Indonesia yang mempengaruhi proses perhitungan biaya dan harga jual gas alam tersebut.

Komposisi gas bumi

Gas bumi terbuat dari gas hidrokarbon dengan komponen utama methane (C1). Gas bumi dapat ditemukan di bawah lapisan bumi, seringkali bersama dengan cadangan minyak.

Saat tiba di permukaan, gas ini dipisahkan dari minyak atau air yang mungkin ada dalam deposit tersebut. Proses ini memurnikan gas dengan membuang gas lain yang ada seperti propane dan butane, serta kandungan air.

Gas bumi berbeda dengan LPG (Liquified Petroleum Gas) dalam hal unsurnya. LPG utamanya dibuat dari Propane (C3). LPG didistribusikan melalui kapal, sementara gas bumi melalui pipa.

Energi yang dihasilkan oleh gas alam diukur dengan kalori. Kandungan energi ini tidak seragam karena dihasilkan dari beberapa sumur gas yang berbeda. Kalori gas alam di Indonesia paling rendah adalah 5991 Kkal /m3 sementara yang tertinggi mencapai 11127 Kkal /m3.

Gas alam yang didistribusikan di wilayah Banten, Karawang, Bogor, Jakarta memiliki kalori sebesar 7703 – 11127 Kkal /m3, sementara gas alam yang didistribusikan di wilayah Cirebon memiliki kalori terendah yakni 5991 Kkal /m3.

Cadangan gas bumi akan habis dalam 59 tahun

Potensi gas bumi yang dimiliki Indonesia berdasarkan status tahun 2008 mencapai 170 TSCF dan produksi per tahun mencapai 2,87 TSCF, dengan komposisi tersebut Indonesia memiliki reserve to production (R/P) mencapai 59 tahun.

Cadangan gas ini diperkirakan belum akan bertambah kecuali ditemukan cadangan potensial baru. Cadangan besar terakhir yang ditemukan adalah cadangan di lapangan Tangguh. Tidak adanya cadangan potensial ini mempengaruhi aktivitas pengeboran pengembangan dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam tiga tahun terakhir, aktivitas pengeboran untuk pengembangan lapangan gas alam di Indonesia relatif nihil. Pengeboran pengembangan mencapai 22.626 kaki pada tahun 2007.

Lapangan-lapangan penghasil gas alam di Indonesia

Donggi – Senoro
Lapangan Donggi-Senoro terletak di Sulawesi Tengah yang dioperasikan oleh dua KKKS yaitu PT Pertamina EP dan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori. Lapangan Donggi merupakan pengembangan lapangan terintegrasi pada area Matindok yang terdiri dari lapangan Donggi, lapangan Matindok, lapangan Maleoraja dan lapangan Minahaki. Sedangkan lapangan Senoro merupakan pengembangan dari lapangan gas Senoro dan lapangan minyak Tiaka.

Cadangan terbukti di Blok Matindok dan Senoro ini sebanyak 2,3 triliun kaki kubik (Tcf). Produksi gas dari lapangan Donggi Senoro di Sulawesi Tengah bisa bertambah 50 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubicfeet per day/MMSCFD) seiring dengan ditemukannya cadangan baru. 

Di lapangan Senoro terdapat tambahan potensi sebesar 0,6 triliun kaki kubik (iniiun cubic feet/ TCF) dan Matindok 0,76 TCF. Dengan demikian, dari kedua lapangan itu bisa diproduksi sebesar 455 mmscfd per hari selama 15 tahun. Investasi yang dibenamkan untuk fasilitas hulu di ladang Senoro diprediksikan sekitar US$ 800 juta dan investasi untuk fasilitas hulu Matindok sebesar US$ 790 juta.

Peruntukan produksi dari lapangan ini telah diputuskan oleh pemetintah untuk kebutuhan dalam negeri. Sebelumnya, konsorsium menilai skema 70 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) untuk domestik dan 335 MMSCFD untuk ekspor merupakan yang paling ekonomis. 

Gas ini diperkirakan akan dibeli oleh 3 perusahaan nasional PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Panca Amara Utama (PAU). Ketiga perusahaan itu butuh pasokan gas sekitar 211 juta MSCFD.

Lapangan  Tangguh

Produksi gas alam cenderung tetap

Produksi gas alam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung tetap. Tingkat produksi rata-rata adalah sekitar 2,9 miliar TSCF (trillion standard cubic feet) . 

Produksi gas dihasilkan dari produksi Pertamina, Pertamina Joint Operation Body (JOB), Pertamina Technical Assistance Contract (TAC) dan Pertamina Joint Operation Body - Production Sharing Contract (JOB-PSC), serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) / Production Sharing Contract (PSC).

Tingkat produksi gas sebagian besar dihasilkan dari Kontrak Kerja Sama (KKS) / Production Sharing Contract (PSC) yakni sekitar 2,5 TSCF, diikuti oleh produksi Pertamina sekitar 300 MSCF.

Produksi oleh Pertamina JOB dan Pertamina TAC tidak terlalu signifikan yakni masing-masing sekitar 18 juta MSCF dan 30 MSCF pada tahun 2006 hingga 2008.

Produksi gas alam melalui KKKS rata-rata mencapai sekitar 88 persen dari produksi total sementara produksi oleh Pertamina sekitar 10 persen. Produksi oleh Pertamina JOB dan Pertamina TAC rata-rata masing-masing sekitar 0,7 persen.

Pemanfaatan gas alam

Gas alam sebagai dipakai pada beberapa sektor. Penggunaan gas alam di Indonesia antara lain untuk penggunaan pada sumur gas sendiri untuk keperluan produksi, industri pupuk, pengilangan, LPG (Liquified Petroleum Gas), kondensat, LNG (Liquified Natural Gas), dll.

Sebagian besar gas alam yang diproduksi di Indonesia diproses menjadi LNG yakni rata-rata sekitar 1,3 TSCF per tahunnya., sementara untuk pasar dalam negeri (lokal) rata-rata sekitar 320 juta MSCF per tahunnya.