Label

Selasa, 19 April 2011

Pemerintah akan gelar pertemuan dengan China untuk bahas ACFTA

Pemerintah akan gelar pertemuan dengan China untuk bahas ACFTA

BOGOR. Pemerintah Indonesia akan menggelar pertemuan bilateral membahas masalah perdagangan bebas dengan pemerintah China. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pembahasan itu mengacu pada protokol bilateral antara Indonesia dan China.

Protokol bilateral itu merupakan dasar untuk membahas berbagai persoalan setelah perdagangan bebas China dan ASEAN (ASEAN China Free Trade Agreement/ACFTA) resmi bergulir sejak 1 Januari 2010 lalu. "Memang sudah menjadi komitmen untuk berbicara dalam protokol bilateral sehingga bisa meningkatkan balance sheet trade kita itu," kata Hatta di sela-sela pertemuan antara pemerintah dan dunia usaha di Istana Bogor, Senin (18/4).

Menurutnya, pemerintah memilih pembahasan secara bilateral ketimbang bersama dengan negara ASEAN agar persoalan dugaan dumping itu segera selesai. Sebab, kata dia, membawa ke level ASEAN bakal memakan waktu lama dan ruwet lantaran setiap negara ASEAN harus setuju dan ruwet.

Apabila salah satu negara ASEAN tidak setuju maka tidak bisa berjalan keinginan yang hendak dicapai Indonesia. "Kalau kita bilateral ya bisa dong, cuma jangan ribut-ribut nanti lain menganggap kita ada backdoor lagi," imbuh mantan Menteri Sekretaris Negara itu.

Sebagai informasi, dalam protokol antara Indonesia dan China pada 3 April 2010 lalu membuahkan komitmen penguatan perdagangan kedua negara untuk mengupayakan keseimbangan neraca perdagangan, pembentukan kelompok kerja selama dua bulan, dukungan pendanaan kredit dan
pinjaman lunak. Kemudian, mendukung pengembangan infrastruktur, dan mendorong dialog bisnis sektor-sektor prioritas.

Senada dengan Hatta, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan pemerintah tidak melibatkan ASEAN dalam pembahasan masalah perdagangan bebas supaya lebih praktis. Apalagi, pembahasan bilateral ini merupakan kelanjutan dari pembahasan antara pemerintah China dan Indonesia tahun lalu di
Yogyakarta. "Sebab urusan kita kebanyakan dengan China tidak dengan ASEAN," kata Hidayat.

Selain itu, pemerintah membuat rencana aksi untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam perdagangan bebas dan harus berjalan dalam tahun ini. Pembahasan rencana aksi ini bergulir pada tingkat Menteri dan Menteri Koordinator Perekonomian akan memimpin rapat dua minggu sekali menyusun matrikulasi siapa mengerjakan apa dan kerangka waktunya.

Hidayat enggan menjelaskan bagaimana mekanisme pembahasan antara pemerintah China dan Indonesia nantinya. Tapi, akan ada pembahasan di tingkat Menko Perekonomian dua minggu lagi.

Adapun sektor yang menjadi prioritas perlindungan pemerintah antara lain makanan dan minuman, furniture, besi, baja, petrokimia, dan elektronik. "Sudah ada 18 sektor usaha yang mau diproses safeguard," kata Mantan Ketua Umum Kadin itu.

Taiwan bidik Indonesia untuk pindahkan pabrik petrokimia senilai US$ 20 miliar

Taiwan bidik Indonesia untuk pindahkan pabrik petrokimia senilai US$ 20 miliar
TAIPEI. Pemerintah Taiwan berencana akan memindahkan lokasi pembangunan kompleks petrokimia di Taiwan ke luar negeri. Menteri Ekonomi Taiwan Shih Yen-hsiang menyatakan, pihaknya membidik daerah-daerah di Malaysia dan Indonesia untuk membangun pabrik yang membutuhkan biaya sekitar US$ 20 miliar itu.

Sejatinya, pabrik petrokimia untuk penyulingan minyak mentah dan memproduksi etilena di daerah Changhua, Taiwan telah terhenti selama lima tahun, setelah gagal melewati serangkaian tes lingkungan.

Para penduduk sekitar menyatakan, kompleks tersebut bakal menyebabkan kepunahan beberapa hewan seperti lumba-lumba yang sering berkumpul di perairan sekitar Changhua.

The Kuokuang Complex, yang menjadi proyek kerjasama Chinese Petroleum Corporation Taiwan dan beberapa investor itu, akan di jalankan di daerah Changhua. Pabrik ini dijadwalkan untuk menggantikan fasilitas pabrik yang telah tua dan akan ditutup tahun 2015 mendatang.

Deutsche Bank siap berikan pinjaman USD 1 miliar untuk TPPI

PENYELESAIAN UTANG TRANS-PACIFIC PETROCHEMICAL INDOTAMA
Deutsche Bank siap berikan pinjaman USD 1 miliar untuk TPPI

JAKARTA. Deutsche Bank siap berikan bantuan pinjaman sebesar USD 1 miliar kepada Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk membayar utang dan penambahan modal perusahaan petrokimia dan refinery terbesar di Asia Tenggara ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan pihak Deutsche Bank yang diwakili Head of the Corporate and Investment Bank Deutsche Bank, Anshu Jain, sudah menyampaikan maksudnya untuk melakukan investasi senilai USD 1 miliar bagi TPPI kilang Tuban tahun ini. "Tadi kita bertemu pihak Deutsche Bank dan mereka menyampaikan ketertarikannya untuk investasi sebesar USD 1 miliar untuk TPPI Kilang Tuban, pada tahun ini," ujar Hatta, Kamis (14/4).
Staf Khusus Menko Perekonomian Amir Sambodo menjelaskan investasi tersebut berupa pinjaman untuk refinancing TPPI terhadap utang-utangnya kepada BP Migas, Pertamina, dan Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang dimiliki Menteri Keuangan. Total utang TPPI kepada pemerintah, lanjut Amir, sebesar Rp 3,2 triliun dan jatuh tempo pada tahun 2014."Itu untuk menyelesaikan utang-utang TPPI jadi bisa dipercepat dari jatuh tempo sekitar Rp 1 triliun," imbuhnya.
Adapun pinjaman tersebut diberikan karena Indonesia yang saat ini sudah selangkah mendekati investment grade. "Dia katakan satu grade mendekati investment grade, jadi risiko lebih rendah sehingga bunga lebih rendah," tukasnya.
Seperti diketahui TPPI menjadi perusahaan bermasalah setelah pemerintah didesak untuk bisa menuntaskan kasus antara TPPI dan PT Pertamina yang diduga berpotensi merugikan negara hingga USD 633 Juta atau setara Rp 5,7 triliun.
Kerugian tersebut berasal dari utang TPPI yang belum dibayarkan ke Pertamina dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). TPPI hingga kini masih berutang ke Pertamina sebesar USD433 juta (Rp 3,9 triliun) dan BP Migas USD 200 juta (Rp 1,8 triliun). "Kalau kasus PT TPPI tidak segera dituntaskan, maka akan menjadi preseden buruk. Karena kasus ini, selain tidak adanya iktikad, baik TPPI untuk membayar utang," kata anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Dito Ganinduto di Jakarta.