Label

Selasa, 27 Desember 2011

Data tak sinkron, Kadin minta pemerintah tahan impor garam

HARGA GARAM
Data tak sinkron, Kadin minta pemerintah tahan impor garam
JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah menahan rencana impor garam hingga ada data resmi kementerian yang sinkron. Sebab, rencana impor itu berkaitan dengan harga garam di tingkat petani.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Natsir Mansyur, akhir pekan lalu, bilang, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memiliki data yang berbeda.

"Perbedaan data antara kementerian membuat setiap kementerian menerbitkan regulasi yang saling bertentangan," ujar Natsir.

Dia sebenarnya tidak mempermasalahkan impor garam tetap dilanjutkan atau tidak. Hanya, yang pasti, pasokan garam industri wajib tersedia setiap tahunnya. Sebab, penghentian pasokan garam industri bakal mengganggu keberlangsungan sektor industri.

Impor garam konsumsi, katanya, direkomendasikan lantaran pasokan dalam negeri tidak memenuhi. Pada 2010 saja kebutuhan pasar domestik sebanyak 1,4 juta ton tidak terpenuhi lantaran pasokan garam rakyat hanya sebanyak 30.000 ton akibat anomali cuaca.

Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, menambahkan, Kementerian Perindustrian menyetujui impor garam konsumsi. Sebab, kualitas produk dalam negeri masih belum memenuhi standar untuk dapat dikonsumsi masyarakat.

Masih jeleknya kualitas garam dalam negeri lantaran peristiwa gagal panen 2010. "Meski kualitas di bawah standar, namun pemerintah tetap menyerap garam petani. Cuma karena masih kurang mau tidak mau kita memang harus impor," ungkapnya.

Garam dengan kualitas saat ini seharusnya hanya dibeli dengan harga Rp 300 per kilogram (kg). Sementara, petani mengharapkan harga jual garam sekitar Rp 700 per kg.
Secara bertahap kualitas garam dalam negeri mulai membaik sehingga dapat dibeli dengan harga Rp 500-Rp 600 per kg. Namun, tetap pasokan dalam negeri disebutkannya belum bisa menutupi kebutuhan.

Produksi dalam negeri dalam kondisi normal tercatat sekitar 1,2 juta ton-1,4 juta ton, sedangkan konsumsi terpatok pada 1,4 juta ton. "Kalau ada masalah cuaca maka produksinya langsung turun," ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah merencanakan perluasan lahan produksi garam yang baru. Kira-kira pemerintah membutuhkan lahan sebesar 10 ribu hektare (ha) untuk menambah hasil produksi baru mencapai 1,6 juta ton. "Minimal butuh 8.000 ha, tapi supaya ada cadangan jadi tambah jadi 10.000 ha," jelasnya.

Pemerintah kembangkan sentra garam, investor berebut daftar

SENTRA GARAM
Pemerintah kembangkan sentra garam, investor berebut daftar
JAKARTA. Pemerintah bakal segera merilis program pengembangan sentra garam di beberapa wilayah Indonesia. Beberapa investor bahkan sudah mendaftarkan diri untuk ikut menggarap area tersebut.

Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengatakan, pemerintah sedang mengkaji kapabilitas investor dalam pengembangan sentra garam sekaligus kondisi detail penguasaan lahan.

Beberapa investor yang berencana berinvestasi di sentra garam ini seperti PT Garam, Mitsubishi Group dan Cheetham Salt Ltd. Rencananya, sentra garam ini berlokasi di Kupang.

Dari segi potensi, Kupang memiliki lahan untuk pengembangan garam seluas 7.000 hektare (ha). Namun, pemerintah masih melihat kesesuaian lahan untuk pengembangan garam seluas 3.000 ha.

"Investor yang berpeluang mengembangkan sentra garam di Kupang belum diputuskan. Cuma tampaknya Cheetham tidak, karena rencana investasi garam di Nusa Tenggara Timur saja belum selesai," tuturnya.

Selain Kupang, pemerintah sebenarnya berniat mengembangkan sentra produksi garam di Nagekeo Nusa Tenggara Timur pada Desember 2011. Sayangnya, penelitian lapangan menunjukkan adanya masalah lahan tentang tingkat serapan air yang melebihi normal.

Sambil menanti keputusan realisasi program, pemerintah menggandeng tenaga ahli asal Amerika Serikat (AS), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memberikan rekomendasi rencana pengembangan garam di lokasi tersebut.

Selain kedua lokasi itu, pemerintah pun telah membidik Madura untuk intensifikasi lahan garam melalui pemanfaatan teknologi. Program itu membutuhkan dana sekitar Rp 125 miliar. Tapi pemerintah baru menyediakan anggaran sebesar Rp 25 miliar pada tahun depan.

Kemenperin bisa mengajukan usulan tambahan anggaran pada DPR sebesar Rp 125 miliar, antara lain sekitar Rp 25 miliar sebagai alokasi penataan garam rakyat. Sementara sisanya, menjadi jatah restrukturisasi PT Garam.

Namun, hasil produksi garam pada tiga lokasi itu baru akan berdampak pada neraca garam nasional pada 2013. "Kemungkinan impor baru diputuskan setelah ada hasil penghitungan," katanya.

Terkait masalah tersebut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah menahan rencana impor garam hingga didapat data resmi kementerian yang sinkron. Sebab, rencana impor itu berkaitan dengan harga garam di tingkat petani.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Natsir Mansyur, menambahkan, impor garam jangan dilakukan terburu-buru. Sebab, produksi dalam negeri garam tidak anjlok seperti produksi gula.

Chandra Asri Ajukan Insentif Tax Holiday

Chandra Asri Ajukan Insentif Tax Holiday


Chandra Asri akan mengajukan permintaan insentif berupa pembebasan pajak seiring rencana investasi jangka menengah. (ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN) JAKARTA (IFT) – PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) akan mengajukan insentif berupa pembebasan pajak dalam periode waktu tertentu (tax holiday) seiring rencana investasi jangka menengah perseroan. Suryandi, Direktur Chandra Asri, mengatakan perseroan akan mengajukan permintaan insentif tersebut seiring pengumuman pemerintah
tentang industri petrokimia hulu menjadi salah satu sektor yang mendapatkan tax holiday.

“Iya, kami akan apply, karena ini merupakan fasilitas dari pemerintah untuk membantu industri petrokimia guna mengurangi keterbantungan bahan baku plastik impor,” kata Suryandi kepada IFT.

Selain Chandra Asri, emitan petrokimia lainnya PT Titan Kimia Nusantara juga dikabarkan sudah positif mendapatkan insentif tax holiday seiring rencana pembangunan pabrik ethylene senilai US$ 3 miliar-US$ 5 miliar.

Titan berencana membangun pabrik ethylene untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Rencana ini seiring masuknya Lotte Group,  melalui Honam Petrochemical sebagai pemegang saham mayoritas induk usahanya, Titan  Chemicals Corp Sdn Bhd, Malaysia.

Chandra Asri memiliki rencana ekspansi jangka pendek dan jangka menengah secara bertahap. Tahun ini perseroan menganggarkan belanja modal sebesar US$ 115 juta, terutama untuk membiayai pembangunan pabrik butadiene yang dimulai pada September 2011 senilai US$ 110 juta. Investasi dilakukan secara bertahap hingga 2013. Belanja modal perseroan juga untuk membiayai debottlenecking polypropylene yang sudah selesai di kuartal II tahun ini dengan biaya US$ 5 juta.

Untuk debottlenecking polyethylene membutuhkan biaya sebesar US$5,5 juta. Sebanyak US$ 3 juta telah dibelanjakan pada 2010 dan sisanya US$ 2,5 juta akan dikeluarkan tahun ini. Total rencana belanja modal jangka menengah sebesar US$ 380 juta hingga 2014.

Fajar AD Budiyono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia, menilai positif tax holiday yang akan diberikan pemerintah kepada industri petrokimia. Dengan tax holiday ini, investasi di bidang petrokimia diproyeksikan akan semakin semarak. Pemerintah juga akan mendapatkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai dan investor akan mendapatkan potongan pajak penghasilan.

“Kabarnya yang akan mendapatkan tax holiday pertama adalah Kuwait Petroleum Corporation yang membangun kilang nafta bersama PT Pertamina (Persero). Titan Kimia dan Chandra Asri sedang dalam proses. Mereka dipastikan akan mendapat tax holiday, karena aturannya sudah jelas,” ujarnya.

Dengan direalisasikan pabrik nafta cracker milik Titan Kimia, maka pabrik tersebut akan membutuhkan bahan baku nafta sebanyak 1,7 juta ton per tahun. Total kebutuhan bahan baku nafta nasional akan mencapai 3,5 juta ton per tahun.

Potensi tersebut, menurut Fajar, akan mendorong investasi di sektor hulu, yakni pembangunan kilang nafta. Hingga saat ini masih jarang investor yang mau berinvestasi membangun kilang nafta.

“Pada 2015, saya prediksikan produksi polyethilene dan polypropilene akan seimbang sehingga impor semakin bisa ditekan,” katanya.

Inovasi Produk

Fajar mengatakan jika utilisasi pabrik petrokimia naik, maka inovasi pengembangan produk akan terjadi, misalnya untuk produksi synthetic butadiene rubber atau karet sintetis sebagai bahan campuran pembuatan ban. Saat ini Chandra Asri sedang merealisasikan pembangunan pabrik butadiene dengan nilai investasi US$ 100 juta.

Pembangunan pabrik yang dimulai pada Juni 2011 dan dijadwalkan selesai pada pertengahan 2013 tersebut dirancang dengan kapasitas produksi 100 ribu ton per tahun. Dengan adanya pabrik butadiene, maka akan mendorong investasi pabrik karet sintetis.

Selama ini, menurut dia, Indonesia yang telah memiliki lima perusahaan ban besar skala ekspor masih mengimpor synthetic butadiene rubber dari kawasan Asia Pasifik.

“Kami perkirakan saat Honam telah mulai membangun pabrik pada 2014 dan memproduksi polypropilene dan polyethilene, maka pabrik synthetic butadiene rubber akan segera direalisasikan,” ujarnya.

Menurut Fajar, dengan dikeluarkannya aturan tentang insentif tax holiday di sektor petrokimia hulu kini banyak investor mulai tertarik untuk masuk, di antaranya investor dari Qatar dan Iran yang sudah menyatakan minatnya berinvestasi di Indonesia. Namun, investasi di sektor petrokimia hulu harus diimbangi dengan ketersediaan minyak mentah sebagai bahan baku. “Masih butuh tiga refinery lagi untuk mensuplai kebutuhan nasional,” kata dia. (*)

Hankook Pasok Kebutuhan Bahan Baku Karet dari Indonesia

Hankook Pasok Kebutuhan Bahan Baku Karet dari Indonesia


JAKARTA (IFT) – Hankook Tire, produsen ban Korea Selatan, akan memenuhi kebutuhan bahan baku karet pabrik ban di Indonesia dari dalam negeri. Seung Hwa Suh, Vice Chairman & Chief Executive Officer Hankook Tire, mengatakan penggunaan bahan baku karet untuk menjadi ban tidak hanya karet alam, tetapi juga karet sintetis.

“Pabrik di Cikarang ini akan memakai 100% karet alam dari Indonesia. Untuk pabrik lainnya, di luar Indonesia, akan memakai karet alam dari Indonesia dan Thailand,” katanya saat peletakan batu pertama pembangunan pabrik Hankook di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin.

Indonesia merupakan salah satu produsen karet terbesar di dunia dengan total produksi 2,92 juta ton pada 2010. Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam memasok 95% dari  permintaan karet dunia.

Menurut Seung Hwa, Hankook Tire menanamkan investasi strategisnya di Indonesia untuk mengakomodasi tingginya permintaan ban berkualitas tinggi untuk mencapai perluasan bisnis secara global.

Hankook Tire akan menginvestasikan US$ 353 juta untuk tahap awal pembangunan pabrik ban berkapasitas 6 juta ton ban per tahun. Hankook akan memproduksi sekitar 5,3 juta unit ban mobil per tahun dan 840 ribu unit ban truk dan bus per tahun. Hasil produksi Hankook di Indonesia, 70% ditujukan untuk pasar ekspor dan 30% untuk pasar domestik.

Pabrik itu ditargetkan akan mulai beroperasi di 2014 dan akan mempekerjakan sekitar 1.400 pegawai.  Hankook akan terus menambah investasinya hingga US$ 1,1 miliar sampai 2018 untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 16 juta unit ban per tahun.


Pabrik ban yang dibangun di Indonesia merupakan pabrik ke-7 Hankook di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara keempat yang menjadi basis produksi ban perusahaan, setelah Korea Selatan, China, dan Hungaria.

MS Hidayat, Menteri Perindustrian, mengatakan potensi  bisnis serta sumber daya di Indonesia akan memudahkan Hankook Tire menerapkan strategi perluasan bisnisnya dan mencapai pertumbuhan bisnis yang  signifikan di Indonesia.

Industri ban, menurut dia, merupakan salah satu andalan  industri manufaktur yang terus berkembang, baik dari kemampuan produksi maupun  ekspor. Keberadaan 13 produsen ban nasional telah mampu memproduksi berbagai  tipe dan ukuran ban mobil penumpang, truk, bus dan kendaraan berat dengan  kemampuan produksi lebih dari 50 juta ban serta memproduksi ban sepeda motor yang mencapai 28 juta ban.

“Hasil produksi itu dapat memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Bahkan sekitar 70% hasil produksi  di ekspor ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Asia, Australia, dan Eropa,” katanya.


Prospek Positif

Menurut Departemen Riset IFT, perkembangan industri ban sangat ditopang oleh perkembangan perusahaan produsen mobil, sepeda motor, truk, dan bus. Penjualan mobil domestik selama 2010 meningkat sebesar 57% menjadi 765 ribu unit dibandingkan 486 ribu unit pada 2009. Pertumbuhan yang tinggi itu disebabkan oleh kondisi makro ekonomi yang sangat baik. Pada 2010, penjualan sepeda motor meningkat 26% dari 5,9 juta unit pada 2009 menjadi 7,4 juta unit pada 2010.

Dengan jumlah populasi mobil dan sepeda motor yang melonjak tajam selama beberapa tahun terakhir,  penjualan ban pengganti di pasar domestik, seperti dilaporkan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia, juga melonjak menjadi 34 juta unit.

Angka ini tidak termasuk ban impor dan produsen ban non-anggota Asosiasi Perusahaan Ban. Penjualan di segmen ban radial sebesar 5,7 juta ban 4,9 juta ban biasa dan 23,4 juta ban sepeda motor.

Tingkat penjualan ini menggambarkan pertumbuhan yang kuat dalam semua segmen dari 2009, sebanyak 23,9 juta ban terjual dalam pasar ban pengganti domestik sesuai hasil riset. Pertumbuhan dalam pasar original equipment manufacturer pada masa lalu akan mencerminkan penjualan di masa depan pada pasar ban pengganti.

Ke depan, industri ban nasional akan didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas karet alam dari 3 juta ton pada 2009 menjadi 4 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 4% per tahun. Dengan begitu,  pasokan terhadap sumber daya akan lebih murah dan lancar. Hal ini juga didukung rencana pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia petani karet untuk mampu memproduksi kualitas karet yang lebih bagus.

Kebijakan penerapan secara wajib Standar Nasional Indonesia untuk barang-barang karet, termasuk komponen otomotif akan berdampak positif terhadap industri ban nasional. Kebijakan itu akan membantu menyadarkan dan meningkatkan tentang kualitas produk buatan Indonesia.

Kinerja Emiten Ban Tertahan Beban Penjualan

Kinerja Emiten Ban Tertahan Beban Penjualan



JAKARTA (IFT) - Pertumbuhan laba bersih tiga emiten ban, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) ,  PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) dan PT Goodyear Indonesia Tbk (GDYR)  di 2010 terhambat kenaikan harga bahan baku dan penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Nilai tukar rupiah pada akhir Desember 2009 tercatat berada di level Rp 9.435 per dolar AS. Sementara pada posisi di akhir Desember 2010 berada di level Rp 8.995 per dolar AS. Artinya, sepanjang 2010, nilai rupiah menguat 4,3%.

Goodyear Indonesia tercatat mengalami penurunan laba bersih terbesar, yakni 57,08% menjadi Rp 7,41 miliar dibandingkan pencapaian di 2009 sebesar Rp 11,64 miliar. Sementara Multistrada merupakan emiten yang masih membukukan kenaikan laba bersih 0,70% menjadi Rp 176 miliar dibandingkan pencapaian di 2009 sebesar Rp 175 miliar. Sedangkan laba bersih Gajah Tunggal turun 8,25% menjadi Rp 830, 62 miliar dibandingkan tahun sebelumnya Rp 905,33 miliar.
Dari sisi pendapatan, semua emiten tercatat mengalami kenaikan penjualan. Penjualan Goodyear naik dari US$ 126,12 juta di 2009 menjadi US$ 193,37 juta di 2010.

Namun, beban lain-lain perseroan berubah negatif dari sebelumnya positif US$ 3,96 juta di 2009, menjadi negatif US$ 1,08 juta di akhir tahun lalu.
Salah satu penyebabnya adalah perseroan menderita rugi selisih kurs sebesar US$ 12,5 ribu di 2010, dari tahun sebelumnya pada periode yang sama untung selisih kurs yang cukup tinggi US$ 5,34 juta.

Hal yang sama juga terjadi pada Gajah Tunggal. Meskipun pendapatan naik dari Rp 7,93 triliun di 2009 menjadi Rp 9,85 triliun di 2010, namun keuntungan kurs perseroan turun. Jika pada 2009, Gajah Tunggal mencatat untung dari selisih kurs sebesar Rp 486,89 miliar, maka tahun lalu hanya meraih Rp 113,19 miliar.
Namun, dengan keuntungan kurs perseroan yang turun, dari Rp 486,89 miliar di tahun 2009 menjadi Rp 113,19 miliar tahun lalu, maka beban lain-lain perseroan menjadi tinggi.

Departemen Riset IFT menilai, kinerja tiga emiten ban cukup positif, khususnya dilihat dari peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan tertinggi dicetak Goodyear, yaitu mencapai 53%. Namun peningkatan beban pokok penjualan tertinggi juga dibukukan emiten ban tersebut, yakni hingga 64%. Akibatnya, laba kotor Goodyear turun lebih besar dibandingkan emiten ban lainnya. Bahkan sampai pada laba bersih, penurunan tertinggi juga dibukukan Goodyear yang mencapai 36%.

Kinerja emiten ban di 2010 juga dapat dilihat dari laba operasional. Gajah Tunggal mencetak kenaikan laba operasional sebesar 12,44%, Multistrada mengalami kenaikan 11,33% dan Goodyear mengalami penurunan laba operasional sebesar 21%.


Aktif Ekspansi

Kinerja emiten ban di 2011 diperkirakan akan meningkat seiring dengan langkah ekspansi yang dilakukan. Multistrada akan melanjutkan ekspansi tahap II yang ditargetkan selesai pada semester I-2011. Untuk ekspansi tahap II, perseroan mengejar produksi ban mobil hingga 28.500 ban/hari dan produksi ban motor tetap 16.000/hari.

Dengan peningkatan kapasitas produksi, Multistrada menargetkan pertumbuhan penjualan 50% menjadi Rp 3 triliun dibandingkan realisasi di 2010 sebesar Rp 2 triliun.

Sementara Gajah Tunggal akan meningkatkan produksi dari 65 ribu per hari di 2010 menjadi 85 ribu ban sepeda motor per hari tahun ini. Selain itu produksi ban mobil juga akan ditingkatkan menjadi 40 ribu ban per hari dibandingkan tahun lalu sebesar 35 ribu ban.

Arijanto Notorahardjo, General Manager Marketing Gajah Tunggal mengatakan, peningkatan penjualan tersebut lebih diutamakan pada penjualan ban sepeda motor untuk kebutuhan dalam negeri. Di 2011, perseroan menargetkan kenaikan penjualan sebesar 15% menjadi Rp 10,8 triliun dibandingkan realisasi penjualan di 2010 sebesar Rp 9,4 triliun.

Goodyear Akan Optimalkan Kapasitas Produksi

Goodyear Akan Optimalkan Kapasitas Produksi

BOGOR (IFT)PT Goodyear Indonesia Tbk (GDYR) akan mengoptimalkan kapasitas produksi pabrik perseroan menjadi 12 ribu unit per hari atau utilisasi 100% dari sebelumnya 11 ribu unit per hari. Agus Setiyanegara, Sekretaris Perusahaan Goodyear Indonesia, mengatakan langkah itu seiring dengan realisasi belanja modal di 2011 sebesar US$ 7 juta.

“Belanja modal tahun ini sebesar US$ 7 juta di antaranya untuk maintenance, peremajaan mesin, dan ekspansi kapasitas,” kata Agus di Bogor, Senin.

Optimalisasi produksi dilakukan untuk mengantisipasi tumbuhnya permintaan ban dan masuknya kompetitor baru di industri ban nasional.

Ekspansi kapasitas Goodyear Indonesia yang dilakukan sejak 2008 dengan nilai investasi US$ 50 juta dan telah selesai di 2010, menjadikan kapasitas terpasang perseroan meningkat menjadi 12 ribu unit dari sebelumnya 8.000 unit per hari. Utilisasi produksi dilakukan secara bertahap hingga tahun ini utilisasi sudah mencapai optimal.

Pada 2010, Goodyear Indonesia melakukan pembelian building machine R2.5 dari Debica, Polandia dengan kemampuan meningkatkan kapasitas pembuatan spiral overlay tires. Perseroan juga melakukan pembelian auto tire enhancement dari FVM, Amerika Serikat dengan kemampuan meningkatkan kualitas dan keseimbangan ban.

Perseroan juga melakukan penggantian green tire slink truck dengan 200 flat green tire storage dengan kemampuan memperbaiki keselamatan dan ergonomi.

Upaya optimalisasi kapasitas produksi tersebut juga untuk mengejar target pendapatan tahun ini. Goodyear menargetkan bisa memperoleh laba bersih tahun ini setara dengan perolehan di 2009 senilai US$ 11,6 juta.

Pada 2010, laba bersih perseroan turun menjadi US$ 7,4 juta akibat tingginya harga bahan baku karet alam yang mengalami kenaikan hingga 300%. Padahal, penjualan perseroan naik 53% menjadi menjadi US$ 193,3 di 2010 dari US$ 126,1 juta di 2009. 
 
Menurut Agus, perseroan menargetkan akan lebih fokus ke pasar original equipment manufacturer, replacement, dan ekspor ke negara tujuan utama, di antaranya Asia dan Australia. Untuk pasar original equipment, Goodyear Indonesia memasok ban ke Mercedes Benz, Daihatsu, dan Hino.

Untuk pasar ekspor, Agus optimistis tidak akan terkena dampak krisis Eropa sebab mayoritas ekspor ban perseroan ditujukan ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Australia. Sedangkan untuk pasar domestik, saat ini perseroan agak kurang fokus seiring banyaknya pemain di industri ban nasional.

"Saat ini komposisi penjualan ekspor dan domestik Goodyear hampir seimbang 50%-50%. Pangsa pasar ban Goodyear  di luar negeri sudah jelas dibandingkan domestik yang sudah dipadati banyak pesaing," kata dia.

Ekspansi kapasitas juga dilakukan emiten ban lainnya, PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA). Even Go, Head of Investor Relations Multistrada, sebelumnya mengatakan tahun depan perseroan menganggarkan belanja modal sebesar Rp 1,32 triliun yang bersumber dari target hasil penawaran umum terbatas (rights issue) dan pinjaman perbankan.

Belanja modal akan digunakan untuk membiayai ekspansi usaha perseroan guna meningkatkan kapasitas produksi ban mobil dan motor. Ekspansi kapasitas yang dilakukan perseroan untuk menopang target volume penjualan tahun depan.

Even mengatakan tahun depan Multistrada menargetkan volume penjualan ban mobil sebesar 9,5 juta-10 juta unit atau naik 47% dari proyeksi 2011 sebanyak 6,8 juta unit. Sedangkan penjualan ban sepeda motor tahun depan ditargetkan tumbuh sebesar 45% menjadi 4,8 juta unit dari 3,3 juta proyeksi di 2011.

Harga Jual

Agus mengatakan saat ini harga karet alam relatif stabil di angka US$ 4 per kilogram.  Angka itu lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mengalami kenaikan harga hingga 300%, sehingga perseroan belum berencana menaikkan harga jual seiring stabilnya harga karet alam. Di semester I, perseroan sempat menaikkan harga jual.

"Kami belum berencana menaikan harga jual, karena harga karet saat ini stabil di angka US$ 4. Fluktuasi ada tapi tidak tajam," ujar Agus.

Hingga kuartal III 2011, Goodyear Indonesia membukukan penjualan bersih sebesar US$ 163,3 juta, tumbuh 14,7% dibandingkan periode yang sama di 2010. Namun, perolehan laba kotor perseroan turun sebesar 2,5% menjadi US$ 13,4 juta, karena kenaikan beban pokok penjualan lebih tinggi dari kenaikan penjualan.

Kenaikan beban pokok penjualan karena kenaikan biaya pemakaian bahan baku sebesar 21,4% menjadi US$ 111,6 juta. Hingga kuartal III 2011, margin laba kotor Goodyear Indonesia turun menjadi sekitar 8,3% dari periode yang sama tahun lalu sebesar 9,7%. (*)

Kertas Basuki Targetkan Raih Dana US$ 60 juta

Kertas Basuki Targetkan Raih Dana US$ 60 juta

Kertas Basuki menargetkan kapasitas produksi akan optimal menjadi 12 ribu ton per tahun di 2012 dari sebelumnya 10.800 per tahun di 2011. (BLOOMBERG/SUZANNE PLUNKETT) JAKARTA (IFT) - PT Kertas Basuki Rachmat Indonesia Tbk (KBRI) menargetkan bisa memperoleh dana senilai US$ 60 juta untuk membiayai pembangunan paper machine 2 pada pertengahan 2012. Ito Prawira, Direktur Kertas Basuki, mengatakan pendanaan akan diupayakan melalui dua opsi, yakni pinjaman dari perbankan atau dari investor dengan cara penerbitan saham baru tanpa melalui penawaran ke publik (private placement).

Menurut Ito, paper machine 2 merupakan salah satu langkah perseroan untuk menaikkan kapasitas produksi menjadi 150 ribu ton kertas per tahun. Penjualan kertas dari paper machine 2 nantinya diproyeksikan untuk pasar ekspor. Pembangunan paper machine 2 sudah direncanakan sejak 2010 namun tertunda akibat terkendala sulitnya mendapatkan pembiayaan dari perbankan.

"Skema penjajakan untuk mendapatkan pendanaan saat ini masih on progress,  sudah ada dari bank lokal dan diharapkan kami bisa memperoleh pada pertengahan tahun depan. Sehingga pada 2013 mesin ini sudah bisa berproduksi," kata Ito di Jakarta, Selasa.

Dari sisi penanam modal, perusahaan mengharapkan memperoleh investor yang berasal dari bidang yang sama, agar kelangsungan bisnis bisa berjalan lama.

Menurut Ito, hingga saat ini posisi keuangan Kertas Basuki sudah tidak dibebani hutang berbunga. Hal itu seiring langkah perseroan yang telah menyelesaikan utang jangka panjang, pembayaran utang pesangon, serta utang usaha.

Saat ini debt to equity ratio (DER) perseroan turun menjadi 10,02% di 2011 dari sebelumnya 76,06% di 2010.

Untuk menumbuhkan kepercayaan dari investor dan pihak perbankan dalam mendapatkan pendanaan, Kertas Basuki saat ini tengah menyelesaikan revitalisasi paper machine 1 dengan kebutuhan dana sekitar Rp 12 miliar.

Perseroan telah memiliki dana sekitar Rp 6 miliar yang diperoleh dari penjualan beberapa aset tidak produktif senilai Rp 20 miliar–Rp 30 miliar. Sebagian dana dari hasil penjualan aset rencananya akan digunakan untuk membiayai belanja modal di 2012 sebesar Rp 6 miliar–Rp 7 miliar untuk menyelesaikan proyek revitalisasi paper machine 1.

Setelah revitalisasi selesai perusahaaan menargetkan kapasitas produksi akan optimal menjadi 12 ribu ton per tahun di 2012 dari sebelumnya 10.800 per tahun di 2011. Seiring dengan hal tersebut, kata Ito, tahun depan volume penjualan juga ditargetkan sebesar 1.000 ton per bulan.

“Namun kami belum bisa memprediksi kisaran nilai penjualan tahun depan dikarenakan harga kertas yang termasuk barang komoditi harganya sulit diperkirakan dan fluktuatif tergantung suplai dan permintaan pasar,” ungkapnya.

Menurut Ito, menjelang akhir tahun ini terjadi tren penurunan harga jual kertas di pasar padahal harga bahan baku tidak mengalami penurunan. Akibatnya margin laba perseroan hingga akhir 2011 berpotensi tergerus.

"Perusahaam belum tahu akan menaikan harga kertas tahun depan atau tidak. Semua bergantung pasar," kata Ito.

Pada penutupan perdagangan Selasa, harga saham Kertas Basuki ditutup stagnan di angka Rp 50 per saham dibandingkan penutupan hari sebelumnya.

Ekspansi kapasitas juga dilakukan emiten kertas lainnya PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW). Hadi Rebowo Ongkowidjojo, Direktur Fajar Surya sebelumnya tahun depan perseroan berencana melakukan sejumlah ekspansi kapasitas produksi, baik melalui modifikasi (up grading) paper machine 7 sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 350 ribu ton per tahun dari sebelumnya 200 ribu ton per tahun, maupun dengan  investasi mesin baru yakni  paper machine 6  yang memproduksi kertas bergelombang untuk kotak kemasan (corrugated medium paper) dan kertas kemasan berwarna cokelat (kraft liner board).

Tahun depan Fajar Surya menargetkan pertumbuhan volume penjualan rata-rata per tahun sebesar 24,6% menjadi 1,145 juta ton dibanding proyeksi 2011 sebesar 950 ribu ton.

“Ekspansi  paper mechine 6 ini masih dalam perencanaan dan belum Kami putuskan. Jadi saat ini masih dalam fase desain sehingga proyek mesin ini  berikut pendanaa baru akan diputuskan pada tahun depan,” ujar Ongko. (*)

Fajar Surya Targetkan Pendapatan 2012 Rp 5 Triliun

Fajar Surya Targetkan Pendapatan 2012 Rp 5 Triliun


Fajar Surya menargetkan peningkatan kapasitas produksi menjadi 1,145 juta ton di 2012 dibanding proyeksi 2011 sebesar 950 ribu ton. (BLOOMBERG/DANIEL ACKER) JAKARTA (IFT) - PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW), emiten kertas kemasan, menargetkan pendapatan Rp 5 triliun di 2012 atau tumbuh 22% dibanding target 2011 sebesar Rp 4,1 triliun. Hadi Rebowo Ongkowidjojo, Direktur Fajar Surya, mengatakan pertumbuhan pendapatan seiring dengan peningkatan kapasitas produksi menjadi 1,145 juta ton di 2012 dibanding proyeksi 2011 sebesar 950 ribu ton.

“Tahun depan perusahaan berencana melakukan sejumlah ekspansi kapasitas produksi, baik melalui modifikasi maupun dengan investasi mesin baru,” kata dia di Jakarta, Jumat.

Modifikasi (up grading) paper machine 7 akan meningkatkan kapasitas produksi Fajar Surya, dari 200 ribu ton per tahun menjadi 350 ribu ton per tahun. Paper machine 7 memproduksi corrugated medium paper dan kertas kemasan berwarna cokelat (kraft liner board). Mesin baru paper machine 6 nantinya akan memproduksi corrugated medium paper.

Modifikasi paper machine 7 yang ditargetkan selesai pada April 2012 membutuhkan investasi US$ 45 juta, sebesar US$ 30 juta di antaranya berasal dari kredit ekspor (export credit agency/ECA).

Nilai investasi untuk paper machine 6 diperkirakan mencapai US$ 100 juta–US$ 125 juta, dan hingga kini perseroan belum menentukan sumber pendanaan dari proyek tersebut.

“Ekspansi paper machine 6 ini masih dalam perencanaan dan belum kami putuskan. Jadi saat ini masih dalam fase desain sehingga proyek mesin dan pendanaannya baru akan diputuskan pada tahun depan,” tutur Hadi.

Seiring dengan rencana ekspansi tersebut, Fajar Surya menganggarkan belanja modal sebesar US$ 80 juta dengan sebagian sumber pendanaan dari sindikasi pinjaman.

Menurut Hadi, modifikasi dan penambahan mesin diharapkan dapat membantu efisiensi. Biaya produksi dan biaya energi diharapkan bisa turun hingga 10%, kualitas produk meningkat dan konsumsi based paper bisa menurunkan biaya pokok.

Menurut Departemen Riset IFT, pendapatan rata-rata per tahun (CAGR) Fajar Surya periode 2006-2010 sebesar 19%. Target 2012 ditetapkan lebih tinggi dari CAGR 2006-2010 seiring dengan proyek ekspansi yang telah dan tengah dilakukan perseroan. Kapasitas utilisasi Fajar Surya di 2010 mencapai 104%, membuat program ekspansi perlu dilakukan. Hasilnya, di kuartal III 2011 tingkat utilisasi turun menjadi 92%.

Produk kertas pembungkus Fajar Surya digunakan oleh banyak sektor industri, seperti produk farmasi, sepatu, barang rumah tangga, makanan olahan dan barang elektronik. Oleh karenanya pertumbuhan pendapatan Fajar Surya ditopang oleh pertumbuhan permintaan akan barang-barang konsumsi.

Segmen geografis penjualan Fajar Surya 93% adalah domestik, sehingga tidak terpangaruh secara langsung terhadap kondisi krisis ekonomi yang sedang melanda Eropa dan Amerika.

Pada perdagangan Jumat, harga saham Fajar Surya turun Rp 150 atau 3,7% ke posisi Rp 3.900 dibanding penutupan perdagangan Kamis.


Pasar Ekspor
Menurut Hadi, pasar kertas kemasan tahun depan masih akan tetap bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan industri konsumsi dan rumah tangga. Namun krisis utang di Eropa diperkirakan bisa berdampak terhadap kondisi pasar domestik.

Untuk mengantisipasi dampak krisis di dalam negeri, perusahaan akan meningkatkan porsi ekspornya dari sekitar 7% di 2011 menjadi 10%-15% di 2012. Adapun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor perusahaaan antara lain, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Timur Tengah.

Hadi juga mengatakan bahan baku impor turun sebesar 5% pada dua bulan terakhir. Saat ini Fajar Surya menggunakan komposisi bahan baku lokal dan domestik dengan porsi seimbang. Hadi mengharapkan turunnya bahan baku impor akan meningkatkan margin perusahaan.

Omzet industri kemasan nasional secara total di 2012 diprediksi mencapai US$ 4,6 miliar naik dibanding estimasi 2011 sebesar US$ 4,2 miliar. Henky Wibawa, Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, sebelumnya mengatakan pasar industri kemasan nasional diproyeksi tumbuh 10%-15% di 2012 seiring potensi pertumbuhan kebutuhan kemasan di industri konsumsi.

“Tahun ini pertumbuhan industri kemasan kami estimasikan lebih rendah dari target sebelumnya, namun tahun depan kami masih optimistis secara industri bisa tumbuh dua kali dari proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap dia.

Pertumbuhan industri kemasan akan didorong ekspansi kapasitas dan investasi baru yang dilakukan pelaku usaha sektor konsumsi.(*)

TPPI Diminta Cairkan Utang Kas Maksimal 75 Hari

TPPI Diminta Cairkan Utang Kas Maksimal 75 Hari

JAKARTA (IFT) - PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), perusahaan di sektor petrokimia, diminta mencairkan utang kas kepada tiga kreditor domestik, yaitu PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), PT Pertamina (Persero), dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), senilai Rp 1 triliun dan US$ 400 juta paling lambat 75 hari atau pertengahan Maret 2011 setelah penandatanganan perjanjian restrukturisasi utang (Master Restructurisasion Agreement/MRA) pada Jumat (23/12).

Boyke Mukijat, Direktur Utama PPA, mengatakan setelah penandatanganan MRA, kreditor domestik akan meminta kajian dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pemerintah) agar menjaga prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik. Dalam masa 75 hari itu kreditor juga segera merampungkan dokumen transaksi turunan dari MRA untuk masing-masing tagihan ke ketiga kreditor tersebut. Dengan demikian, setelah dokumen itu semua tuntas, MRA pun menjadi efektif.

Menurut Boyke, TPPI bisa mencairkan utang kas segera karena perseroan bisa menjadikan MRA sebagai jaminan kepada Deutsche Bank selaku pihak yang akan memberikan pinjaman (refinancing) senilai US$ 1 miliar untuk pembayaran utang perusahaan. "Bila setalah 75 hari tidak juga dicairkan, akan ada mekanisme default (bangkrut)," ujar Boyke, akhir pekan lalu.

TPPI harus segera membayar utang kepada tiga kreditor. Utang tersebut sebesarRp 1 triliun kepada PPA yang merupakan utang berbentuk surat utang jangka panjang (multi years bonds), Pertamina sebesar US$ 300 juta, dan BP Migas sebesar US$ 100 juta. 

“Walaupun utang itu dibayar, TPPI memiliki sejumlah utang kepada ketiga kreditor tersebut, karena total utang TPPI masih lebih besar, yakni utang berbentuk product delivery instrument (PDI) kepada Pertamina sekitar US$ 406 juta dan pokok open account senilai US$ 183 juta plus bunga US$ 49 juta. Juga,  utang ke BP Migas sekitar US$ 169 juta, multi year bonds ke PPA senilai Rp 3,27 triliun, serta utang ke kreditor lainnya US$ 1 miliar,” ujarnya.

Dengan demikian, TPPI masih berutang kepada Pertamina  sekitar US$ 338 juta, ke BP Migas sekitar US$ 69 juta, dan kreditur lainnya US$ 1 miliar. Sisa utang ke Pertamina akan dilunasi paling lambat 10 tahun setelah MRA ini, utang ke BP Migas dicicil sampai 2012, dan utang ke PPA paling lambat 2014.

Boyke menyebutkan sisa utang TPPI kepada ketiga kreditor akan dibayar melalui cicilan. Sisa utang ke Pertamina akan dicicil selama 10 tahun berikutnya dan diselesaikan dengan instrumen Standby Letter of Credit (SBLC) pada saat akhir masa cicilan dan skema jual beli mogas untuk tagihan open account. Sementara sisa utang ke BP Migas senilai US$ 69 juta akan diselesaikan dalam kurun waktu 12 bulan atau paling lambat akhir 2012 dengan instrumen SBLC.

Adapun sisa tagihan PPA sekitar Rp 2,27 triliun dilunasi melalui arus kas operasional dari dua anak usaha PT Tuban Petro yang merupakan induk TPPI, yakni PT Petro Oxo Nusantara (PON) dan PT Polytama Propindo (PP). "Sisa utang ke kreditur lainnya sekitar US$ 1 miliar akan diselesaikan dalam fase kedua, sebagaimana persyaratan Deutsche Bank dan sponsor yang meminta para kreditur yang belum masuk dalam restrukturisasi untuk stand still," ujarnya.

M Afdhal Bahauddin, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko, mengatakan setelah utang PDI berupa kas senilai US$ 300 juta akan dilunasi TPPI setelah 75 hari masa MRA, sisa utang sekitar US$ 106 juta termasuk bunga dibayar melalui adanya SBLC pada saat akhir masa MRA. "Sementara utang berupa open account dilakukan dengan letter of credit (L/C)," ujarnya.

Dia mengatakan, L/C itu terdiri atas L/C pertama US$ 60 juta untuk jadwal pembayaran selama lima tahun pertama yang diterbitkan saat masa cicilan utang sebesar US$ 100 juta berakhir.  L/C kedua sebesar sisa outstanding open account beserta bunganya untuk lima thn kedua yang diterbitkan sebelum akhir tahun kelima.

“Apabila L/C kedua tidak terbit, Pertamina masih punya jaminan pembayaran open account melalui offsetting dengan pembayaran atas pembelian mogas, offsetting dengan pembayaran atas pembelian produk lain, dan eksekusi jaminan saham milik PT Sila Kencana pada PT Tuban Petro,” katanya.

R Priyono, Kepala BP Migas, berharap pelunasan utang ini juga berjalan lancar, sehingga pihaknya juga bisa kembali memasok kondensat ke kilang TPPI. "Begitu utang ini lunas, kami jamin untuk pemberian kondensat selama 10 tahun setelah penandatanganan MRA,” ujarnya.

TPPI tercatat mempunyai utang kepada tiga kreditor domestik, yaitu Pertamina
sebesar US$ 300 juta plus bunga US$ 23 juta. Pertamina juga memiliki open
account receivable ke TPPI US$ 183 juta plus bunga US$ 49 juta.
Sementara utang perseroan ke BP Migas sebesar US$ 200 juta, dan PPA Rp 3,27
triliun. Jika ditotal, utang Trans-Pacific mencapai Rp 9,51 triliun. Sementara total aset TPPI saat ini hanya mencapai Rp 13,5 triliun.

Kemenperin renegosiasi ekspor gas ke Singapura

EKSPOR GAS
Kemenperin renegosiasi ekspor gas ke Singapura
JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah melakukan negosiasi ulang jumlah gas yang akan diekspor ke Singapura. Dengan begitu, alokasi kebutuhan gas pada industri dalam negeri bisa terpenuhi.

Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat, mengatakan, akibat jumlah gas yang diekspor tidak memperhitungkan kebutuhan gas di dalam negeri, sehingga pasokan gas untuk industri saat ini baru terpenuhi 46% dari kebutuhan total industri.

Sebagai gambaran, kebutuhan gas untuk industri pupuk sekitar 850 mmscfd baru terpenuhi 85%, sedangkan industri lainnya sebesar 1900 mmscfd baru bisa terpenuhi 65%. Soal harga, para pelaku usaha berbasis gas bersedia membeli dalam level komersial selama pasokan tersedia secara kontinu.

Bersama kementerian terkait, Kemenperin berupaya menginventarisasi kebutuhan gas dalam negeri sembari mempercepat proses pembangunan receiving terminal (floating ataupun mobile). "Semoga semua itu bisa terealisasi di 2012," ujarnya.

Hidayat sebelumnya pernah menyebut, kebutuhan gas industri untuk 2012 akan dipasok oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui alokasi tambahan yang disalurkan BP Migas. Alokasi tambahan itu akan digunakan untuk memasok kebutuhan gas sambil menanti rampungnya terminal penerima terapung (floating terminal receiving).

"Sambil menunggu floating terminal receiving selesai pada akhir 2012, kekurangan gas akan kita penuhi dari impor atau PGN yang dapat jatah lebih dari BP Migas," ucapnya.

Dia mengaku, telah meminta BP Migas agar memberi kepastian pasokan gas tambahan untuk PT PGN sebelum floating terminal receiving terminal rampung. Sehingga kasus penghentian pasokan gas di tengah produksi seperti yang terjadi di wilayah Jawa Timur tidak terulang.

Direktur Industri Kimia Dasar Ditjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian, Tony Tanduk, menambahkan, masih akan mengandalkan hasil produksi gas dalam negeri sebagai sumber pemasok kebutuhan industri pupuk, baja, dan lainnya. "Impor salah satu alternatif saja," ujarnya.

Habis terserap pasar domestik, ekspor semen turun 50% di 2011

PRODUKSI SEMEN
Habis terserap pasar domestik, ekspor semen turun 50% di 2011
JAKARTA. Ekspor semen tahun ini melempem. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mencatat, volume ekspor tahun ini hanya sebanyak 1 juta ton. Angka itu cuma separuh dari ekspor tahun 2010 sejumlah 2 juta ton.

Urip Timuryomo, Ketua ASI, mengatakan, ekspor yang minim tahun ini lantaran seretnya pasokan. "Sudah habis dikonsumsi di dalam negeri," ujarnya kepada KONTAN, akhir pekan ini. Selama ini semen nasional di ekspor ke Bangladesh, Brunei Darussalam, dan Srilanka.

Sementara untuk 2012, Urip memprediksi ekspor semen akan meningkat. Sebab, semen domestik akan kelebihan produksi. Ia menghitung, dari sembilan pabrik semen yang beroperasi di Indonesia minimal akan memproduksi sebanyak 49,7 juta ton semen. Angka ini naik 8% dari tahun ini sebanyak 46 juta ton.

Tingginya permintaan semen membuat para produsen akan meningkatkan kapasitas produksi di 2012. Misalnya PT Semen Gresik (Persero) Tbk. (SMGR) akan memacu produksi mencapai 25 juta ton per tahun di tahun 2012. Ini meningkat 25% dibandingkan tahun ini sebesar 20 juta ton.

Untuk itu perusahaan memperluas pabrik di Gresik dan membangun pabrik baru di Sulawesi Selatan. Investasi kedua pabrik mencapai Rp 7 triliun.

Produksi pabrik Semen Gresik di Jawa Timur akan bertambah 2,5 juta ton setelah beroperasi pada Januari 2012. Sedangkan pabrik baru di Sulsel menghasilkan 2,5 juta ton per Juli 2012. "Produksi akan bertambah dan ini bisa mendorong peningkatan ekspor," katanya.

Senin, 26 Desember 2011

BKPM fokus tawarkan sektor industri hilir

BKPM fokus tawarkan sektor industri hilir

JAKARTA. Deputi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bidang Promosi Himawan Hariyoga mengatakan, saat ini BKPM tengah fokus berpromosi untuk mengembangkan sektor industri hilir. Menurutnya, investasi di sektor hilir berguna untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan.

Menurut dia, tren investasi tahun depan memang akan fokus ke sektor energi dan sektor hilir. Terlebih, selama ini banyak sumber daya alam Indonesia yang belum banyak diolah. Industri hilir ini diperlukan untuk memberikan nilai tambah atas sumber daya alam yang diproduksi Indonesia. “Sektor hilir akan banyak kami tawarkan kepada investor, karena Indonesia butuh banyak industri pengolahan, di samping sektor infrastruktur yang saat ini sedang tumbuh,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/10). Kata dia, sektor pengolahan pertanian dan pengolahan tambang menjadi salah satu sektor yang akan banyak ditawarkan kepada investor.
Catatan BKPM, realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berdasarkan sektor usaha didominasi oleh sektor pangan dan perkebunan (Rp3,6 triliun), listrik, gas dan air (Rp3,3 triliun), industri kertas barang dan percetakan (Rp2,2 triliun), industri mineral non-logam (Rp2,1 triliun), serta pertambangan (Rp1,7 triliun).
Sementara untuk Penanaman Modal Asing (PMA), 5 besar sektor yang diminati adalah transportasi, gudang dan telekomunikasi (US$1,1 miliar), pertambangan (US$900 juta), industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik (US$600 juta), listrik, gas dan air (US$500 juta), serta industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (US$300 juta).
Dia menjelaskan, saat ini juga banyak investor yang mulai masuk ke sektor infrastruktur kelistrikan. “Kalau kita lihat sektor kelistrikan sudah masuk ke dalam lima besar investasi yang diminati investor asing. Artinya, investasi sektor infrastruktur di Indonesia merupakan peluang yang menguntungkan,” katanya.
Sebelumnya, Azhar Lubis, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM mengatakan, investasi listrik ini menjadi kabar yang menggembirakan buat Indonesia karena bisa turut menyumbang pasokan listrik. "Kita memang kekurangan listrik, tapi ada order untuk membangun pembangkit listrik. Mereka tidak akan jual ke PLN. Nah, ini akan menambah pasokan," ujar dia.
Catatan saja, BKPM mencatat, hingga triwulan III, realisasi investasi mencapai Rp 181 Triliun. Jumlah ini meningkat 20,9% pada periode yang sama di tahun lalu. Rinciannya, Rp 129 triliun berasal dari PMA dan Rp 52 triliun dari PMDN. Sementara khusus untuk kuartal III tahun ini, realisasi investasi mencapai Rp 65,4 triliun atau naik 15,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Tahun ini, BKPM menargetkan bisa menarik investasi baru sebesar US$ 240 triliun, dan pada 2012 naik 15% menjadi Rp290 triliun.

Industri kimia hilir menjadi sektor terfavorit PMA di semester I 2011

INVESTASI INDUSTRI PMA
Industri kimia hilir menjadi sektor terfavorit PMA di semester I 2011
JAKARTA. Lima kelompok industri menjadi favorit investasi selama periode semester I 2011. Kelompok industri itu tercatat mendapat tambahan realisasi investasi pada pos penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).

"Ada lima kelompok industri yang sama-sama menduduki peringkat lima besar untuk PMA dan PMDN," ucap Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana, Rabu (24/8).

Kelompok tersebut meliputi industri kimia hilir dengan 29 perusahaan yang mengantongi izin prinsip investasi senilai US$ 6,053 miliar. Selain itu, industri makanan minuman dan tembakau dengan 30 perusahaan berinvestasi sebesar US$ 4,851 miliar, serta industri kimia dasar yang mendapat tambahan investasi senilai US$ 4,291 miliar dari sembilan perusahaan.

Kemudian, 16 perusahaan berhasil mengantongi izin prinsip investasi senilai US$ 3,221 miliar pada industri hasil hutan dan perkebunan dan 15 perusahaan berinvestasi senilai US$ 2,075 miliar pada industri tekstil.

Kelima kelompok industri itu mendominasi realisasi investasi PMDN semester I 2011 yang tercatat sebesar US$21,921 miliar. Bahkan, kelompok yang sama pun menyumbang sebagian besar realisasi investasi PMA semester I 2011.

Kelompok industri itu meliputi sektor hasil hutan dan perkebunan dengan 35 perusahaan yang mendapat izin prinsip (IP) investasi senilai US$5 miliar. Selanjutnya, industri makanan minuman dan tembakau diminati 58 perusahaan dengan nilai investasi mencapai US$ 2,810 miliar.

Lalu, sebanyak 57 perusahaan mengantongi izin prinsip investasi senilai US$ 1,021 miliar di industri kimia hilir. Selanjutnya, 58 perusahaan berinvestasi senilai US$ 584,753 juta di industri tekstil, dan 15 perusahaan dapat izin prinsip investasi senilai US$ 552,003 juta di industri kimia dasar. Kelima sektor itu menyumbang realisasi investasi PMA sebesar US$ 11,526 miliar.

Investasi pada beberapa sektor itu, sebagai upaya peningkatan kapasitas untuk memenuhi permintaan ekspor. Selama kurun waktu 2007-2010 saja, Indonesia telah membukukan ekspor tekstil dan produk tekstil mencapai US$ 11,206 miliar. Industri kimia dasar tercatat mengekspor sebesar US$ 4,578 miliar serta industri pulp dan kertas mencapai US$ 5,708 miliar.

Olahan kayu mencatatkan angka ekspor mencapai US$ 4,280 miliar, olahan kepala atau kelapa sawit tercatat sebesar US$ 17,254 miliar, serta olahan karet sebesar US$ 9,523 miliar.
Artinya, realisasi investasi baru itu mengindikasikan tingginya permintaan produk Indonesia untuk pasar ekspor. Meski tidak dapat dipungkiri, komoditi ekspor masih belum sepenuhnya berbentuk barang konsumsi.

Industri petrokimia diprediksi tumbuh 8,5% di 2012

INDUSTRI PETROKIMIA
Industri petrokimia diprediksi tumbuh 8,5% di 2012
JAKARTA. Industri petrokimia diprediksi dapat tumbuh berkisar 8% - 8,5% di 2012. Pasalnya, ada beberapa investasi yang rencananya direalisasikan pada tahun depan.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menuturkan, petrokimia mungkin bisa bertumbuh pada kisaran tersebut, jika semua proyek yang direncanakan di 2012 bisa terealisasi. Beberapa proyek petrokimia memang sedang menjalani proses untuk direlisasikan rencana investasinya, misalnya, pengadaan lahan, pemilihan lokasi, pencarian gas, hingga ada yang siap membangun pabriknya.

Proyek itu antara lain, rencana investasi senilai US$ 5 miliar milik Honam Petrochemical. Anak perusahaan Lotte Group itu sedang mengupayakan pengadaan lahan yang dimiliki PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Proyek selanjutnya milik produsen Caprolactam asal Jerman yang akan menggandeng pengusaha lokal untuk memproduksi serat ban. Investor itu telah menyelesaikan studi kelayakan, tapi masih belum menemukan lokasi pabrik yang dekat sumber amonia.

Di samping kedua rencana itu, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk telah siap membangun pabrik butadiene di Banten. Perusahaan yang menggelontorkan dana sekitar US$ 150 juta itu, siap memasang tiang pancang pada akhir November 2011. Bahkan, perusahaan ini meningkatkan kapasitas produksi pabrik polypropilene dari 320.000 ton menjadi 480.000 ton per tahun.

Corporate Secretary PT Chandra Asri Tbk Suhatmiyarso meyakini, pertumbuhan produksi perusahaannya di tahun depan bakal jauh lebih bagus ketimbang tahun ini.

Pada pertengahan 2011 pernah disebut adanya perlambatan industri petrokimia yang dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia. "Proyeksi tahun depan lebih bagus. Diharapkan (tumbuh) 5%-10%, karena permintaan naik," imbuh Suhatmiyarso.

Kondisi global tak menentu, Chandra Asri tahan ekspansi

ANCAMAN KRISIS GLOBAL
Kondisi global tak menentu, Chandra Asri tahan ekspansi
JAKARTA. PT Chandra Asri Petrochemical Tbk memilih menahan ekspansi kapasitas produksi pabrik polyethylene dan pengolahan nafta. Mereka khawatir kondisi pasar tiba-tiba terpuruk terimbas krisis Uni Eropa.

Corporate Secretary and Investor Relation Director PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., Suryandi mengaku, peningkatan kapasitas akan ditunda pelaksanaannya hingga tahun depan sampai ada kepastian iklim pasar yang kondusif. "Kita tunggu hingga kuartal II 2012 untuk menetapkan langkah selanjutnya," ujar Suryadi.

Pertumbuhan industri di pasar domestik memang belum bermasalah. Porsi pemasaran hasil produksi anak perusahaan PT Barito Pacific Tbk itu sekitar 70% dialokasikan untuk melayani pasar dalam negeri, sedangkan sisanya untuk pasar ekspor.

Hal itu merupakan sinyal positif untuk perkembangan industri petrokimia yang tahun ini tumbuh sekitar 6%-6,5%. Namun, perusahaan itu memilih untuk berhati-hati melaksanakan rencana karena merupakan proyek jangka panjang.

Makanya, lanjut dia, perusahaan akan berniat fokus dulu pada pembangunan pabrik butadiene senilai US$ 150 juta. Proyek itu ditargetkan rampung pada medio 2013 dengan kapasitas 100.000 ton.

Proyek butadiene itu diusulkan untuk mendapat pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak dalam waktu tertentu (tax holiday). Pengajuan itu akan dilakukan melalui anak perusahaannya PT Petrokimia Butadiene Indonesia.

Corporate Secretary PT Chandra Asri Tbk, Suhatmiyarso, mengutarakan, pengajuan tax holiday itu tengah dipersiapkan oleh tim perusahaannya. Mereka akan mendapatkan rekomendasi tax holiday dari Kementerian Perindustrian kepada Kementerian Keuangan, apabila lolos evaluasi Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Terkait hal itu, Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengutarakan, sektor petrokimia merupakan industri yang mendapat prioritas untuk mengantongi tax holiday. Meskipun pembangunan pabrik petrokimia itu direalisasikan di Pulau Jawa.

Shin Dong Bin: Kembangkan industri petrokimia di AS dan Indonesia (4)

Shin Dong Bin: Kembangkan industri petrokimia di AS dan Indonesia (4)

Setelah berhasil masuk ke pasar China dan Rusia, Lotte Group mulai merambah Amerika Serikat dan Asia Tenggara. Di dua kawasan tersebut, selain tetap mengusung bisnis ritelnya, Lotte juga bakal mengembangkan industri petrokimia. Lewat anak usaha bernama Honam Petrochemical, Dong Bin membuat produk-produk ramah lingkungan nan laris manis di pasaran.
Amerika Serikat (AS) menjadi negara tujuan investasi Lotte Group setelah Rusia dan China. Tak hanya negeri Paman Sam, Shin Dong Bin juga fokus menggarap pasar Asia, termasuk Indonesia. Menurut Dong Bin, AS adalah negeri yang cocok untuk bisnisnya.
Lotte mulai masuk pasar AS pada tahun ini. Untuk bisa menguasai pasar AS, Dong Bin menerapkan strategi berbeda dengan yang telah dia lakukan di Asia. Jika di Asia dia masuk dengan usaha ritel, di AS dia menggarap usaha petrokimia. Itulah sebabnya, Dong Bin kemudian memperkuat Honam Petrochemical Alabama Corp untuk menjadi ujung tombak Lotte di AS. Honam adalah anak usaha Lotte Group. Perusahaan ini diakuisisi oleh Lotte Group pada tahun 1976.
Bagi Dong Bin, pasar AS memang sungguh strategis. Karena itu, dia yakin mampu mengerek penjualan hingga tiga kali lipat di Negeri Barack Obama ini. Maklum, pasar di AS cukup ramah terutama untuk pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Melalui Honam, Dong Bin mulai membangun pabrik manufaktur chip dan long termoplastik fiber (LTF). Bahan ini akan memenuhi kebutuhan produsen mobil besar seperti Marcedez Benz, Toyota, Hyundai Motor Company, dan Samsung Electronics. Selain itu, Honam juga memproduksi chemical flow battery (CFB).
CFB adalah jenis baterai yang mampu menyimpan sejumlah besar tenaga angin atau energi surya. Di AS, pasar untuk baterai jenis ini cukup besar. Untuk memperluas bidang usaha CFB, Lotte menjalin kerja sama dengan ZBB Energy dengan investasi sebesar US$ 6 juta. Dengan ekspansi ini, Dong Bin memasang target penjualan total sebesar 200 triliun won hingga 2018 nanti.
Target ini bukanlah mimpi, sebab pada tahun lalu, Honam telah berhasil meraup pendapatan sebesar 14 triliun won. Jumlah itu mengalami kenaikan sekitar 47,4% dibanding tahun sebelumnya. Pada 2009, pendapatan Honam Petrochemical hanya sebesar 9,5 triliun won. Dengan jumlah itu, Honam Petrochemical menyumbang pendapatan terbesar ketiga setelah Lotte Departemen Store dan Lotte Mart.
Kenaikan pendapatan yang cukup tinggi diperoleh Honam usai mengakuisisi Titan Kimia, perusahaan petrokimia asal Malaysia. Honam mengakuisisi Titan Kimia melalui dua tahapan. Tahap pertama, Honam melakukan pembelian saham Titan Kimi sebesar 72% dengan nilai US$ 1,27 miliar pada Juli 2010.
Pembelian saham tahap kedua dilakukan pada November 2010. Ketika Dong Bin menambah kepemilikan di Titan sebesar 28% saham.
Dong Bin berharap, pembelian Titan ini akan melebarkan cengkeraman Lotte di pasar petrokimia Asia Tenggara. Sebab, akuisisi ini telah menjadikan Honam sebagai perusahaan petrokimia terbesar kedua di Asia setelah Taiwan Formosa Petrochemical. Dengan masuknya Titan, produksi Honam menanjak tajam. Kalau semula pendapatan hanya 1,75 juta ton menjadi 2,5 juta ton per tahun.
Sebenarnya, keinginan Dong Bin untuk membesarkan Honam Petrochemical sudah lama. Sebelum AS, Dong Bin juga sudah mengincar beberapa negara yang menjadi target investasi seperti Malaysia, Indonesia, Vietnam, Rusia, dan India.
Di Indonesia, Honam berencana menginvestasikan uang sebesar US$ 3 miliar hingga US$ 5 miliar untuk membangun pabrik petrokimia di Banten. Supaya ekspansinya ke Indonesia makin lancar, Dong Bin sudah bertemu dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Selain masuk di sektor olefin, Honam juga akan masuk ke sektor industri aromatik. Alasannya, pasar untuk industri petrokimia masih terbuka lebar. Namun sampai saat ini masih sedikit pemain yang berani untuk berinvestasi di industri aromatik.
(Selesai)

Demi tiga industri andalan, pemerintah bakal genjot investasi di sektor komponen mesin

Demi tiga industri andalan, pemerintah bakal genjot investasi di sektor komponen mesin

JAKARTA. Pemerintah menetapkan tiga sektor industri, yakni alat angkut, telematika dan agro menjadi industri andalan pada 2025. Hal ini tercantum Peraturan Presiden (Perpres) No 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.

Industri alat angkut meliputi otomotif, perkapalan, kedirgantaraan, dan perkeretaapian. Industri telematika berupa industri perangkat (device), infrastruktur (jaringan), dan aplikasi (content). Sementara industri agro mencakup pengolahan kelapa sawit, hasil laut, karet, kayu, tembakau, kakao, buah, kelapa, kopi, serta pulp/kertas.

Untuk merealisasikan target itu, pemerintah bakal menggenjot investasi di sektor komponen mesin. Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana, bilang, ketiga sektor industri itu memang harus disokong suplai barang modal berupa mesin-mesin.

Selain menyokong tiga pilar industri andalan, barang modal dibutuhkan untuk menyuplai mesin pada sektor industri petrokimia, semen, baja, tekstil/produk tekstil, sepatu, dan elektronik.

Untuk menghasilkan barang modal, Indonesia membutuhkan industri komponen yang mapan supaya kebutuhan komponen tidak terus-menerus disuplai dari luar negeri.

Apabila industri komponen yang menyuplai produsen barang modal itu sanggup tumbuh mapan nantinya bakal berdampak pada perkembangan industri berbasis logam seperti baja, tembaga, dan aluminium pada hilirisasi. "Kebijakan ini memungkinkan pengembangan industri secara terintegrasi," ucapnya, Selasa (13/12).

Apabila hal itu sudah terjadi secara runut maka produsen dan konsumen industri bisa mengantongi fasilitas insentif dari pemerintah. Fasilitas itu berupa insentif fiskal, nonfiskal, dan kemudahan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pemberian fasilitas itu ditinjau setiap dua tahun atau waktu tertentu tergantung kondisi.

Industri prioritas tinggi, pionir (baru), serta industri yang dibangun di daerah terpencil/tertinggal/perbatasan/daerah lain yang dianggap perlu juga berpotensi mendapat fasilitas dari pemerintah.

Selain itu, pemerintah pun memiliki kualifikasi bagi industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, kerjasama dengan usaha mikro/kecil/menengah/koperasi, atau menyerap banyak tenaga kerja untuk bisa mendapat insentif dari pemerintah.